PEKALONGAN, Jawa Tengah | Deraphukum.click | Suasana Aula Kantor Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, mendadak menjadi pusat perhatian para insan pers pada Senin (1/12) sekitar pukul 10.45 WIB. Puluhan wartawan dari berbagai media online, cetak, serta perwakilan organisasi pers seperti IPJT, PWOIN, PJS, dan KOWARKA (Komunitas Wartawan Kajen) berbondong-bondong menghadiri forum klarifikasi terbuka bersama Camat Wonokerto, Abdul Qoyum, S.H., M.A.P. Kegiatan tersebut digelar untuk meluruskan berbagai isu yang tengah menghangat di ruang publik.
Hadir mendampingi Camat Qoyum, Kabid PMD Kecamatan Wonokerto yang mengikuti forum sejak awal hingga akhir. Agenda dibuka oleh Ketua IPJT Pekalongan Raya, Ali Rosidin, yang menegaskan bahwa forum ini menjadi ruang komunikasi terbuka antara pemerintah kecamatan dan insan pers, demi mencegah kesalahpahaman serta memastikan transparansi informasi.

Tiga Isu Utama yang Diklarifikasi
Dalam pemaparannya, Camat Abdul Qoyum memberikan klarifikasi rinci mengenai isu-isu yang dalam beberapa hari terakhir menjadi perbincangan hangat di kalangan wartawan dan masyarakat. Moderator mengajukan tiga isu utama, berikut tambahan satu isu dari peserta diskusi:
1. Postingan hasil pertemuan pengurus Bahurekso Kades yang viral di grup WhatsApp wartawan.
2. Viralnya postingan karangan bunga.
3. Pengelolaan BUMDes Wonokerto Wetan yang dinilai belum sah, termasuk isu Lumbung Desa tahun 2023.
4. Dugaan OTT terhadap dua oknum wartawan.

Camat: Baru Dua BUMDes di Wonokerto yang Berbadan Hukum
Di hadapan para wartawan, Camat Qoyum menegaskan bahwa hanya ada dua desa di Kecamatan Wonokerto yang hingga kini memiliki BUMDes berbadan hukum, yakni Desa Pecakaran dan Desa Rowoyoso.
> “Saya menjabat sebagai Camat mulai 1 Desember 2022. Sejak awal saya sudah mengingatkan Kepala Desa Wonokerto Wetan, Aziz, terkait status BUMDes mereka yang belum berbadan hukum. Namun sampai hari ini tidak digubris,” tegasnya.
Pernyataan itu sekaligus menepis dugaan kelalaian kecamatan dalam fungsi pengawasan. Qoyum menekankan bahwa kecamatan telah memberikan arahan, sementara keputusan dan eksekusi tetap berada di tangan pemerintah desa.
Camat Kritik Pendamping Desa: “Digaji Negara Tapi Tidak Berfungsi!”
Dalam forum tersebut, Camat Abdul Qoyum juga memberikan kritik keras terhadap para pendamping desa yang dinilai tidak menjalankan fungsi sesuai tugasnya.
> “Pendamping desa itu digaji negara untuk memastikan proses verifikasi dan pengelolaan Dana Desa berjalan sesuai aturan. Namun faktanya banyak yang tidak menjalankan fungsi itu dengan benar. Ini sudah saya tegur keras,” ujarnya.
Pernyataan tersebut langsung menjadi sorotan para wartawan, mengingat peran pendamping desa kerap menjadi perhatian dalam penggunaan anggaran desa.
Pertanyaan Wartawan: Verifikasi Longgar dan Isu OTT
Dalam sesi tanya jawab, Ivan Dedi dari Radar Nusantara mempertanyakan mekanisme verifikasi pencairan Dana Desa oleh pihak kecamatan.
> “Apakah verifikasi dari pihak kecamatan selama ini berjalan ketat atau justru lentur?” tanya Ivan.
Sementara itu, Winoto Jamin dari media Cakra menyoroti isu OTT yang belakangan ramai dibicarakan publik.
> “Soal OTT, kami tidak mau mencampuri—biarkan aparat yang memproses. Tapi apakah desa selama ini sudah benar-benar berjalan sesuai koridor penggunaan anggarannya?” ujarnya.
Diskusi berlangsung dinamis, memperlihatkan antusiasme insan pers dalam mendorong transparansi pengelolaan pemerintahan desa.
Penutup: Komitmen Transparansi dan Kolaborasi Media
Menutup acara, Camat Abdul Qoyum menegaskan komitmen pemerintah kecamatan untuk terus membuka ruang komunikasi dengan media. Ia menyatakan siap menerima kritik yang bersifat membangun demi perbaikan tata kelola pemerintahan.
Acara ditutup dengan pernyataan bersama mengenai pentingnya sinergi antara media dan pemerintah kecamatan dalam menjaga keterbukaan informasi serta akuntabilitas penggunaan anggaran publik.
(AR)

