KARAWANG, | Deraphukum.click | Masa Kecil yang Penuh Perjuangan Dedi Mulyadi, pria kelahiran Subang, 11 April 1971, tumbuh dalam keterbatasan yang membentuk karakternya. Lahir dari keluarga sederhana, ia merasakan pahitnya hidup sejak kecil. Ayahnya, Ahmad Suryana, adalah purnawirawan tentara yang harus meninggalkan dunia militer di usia 28 tahun karena sakit misterius yang diduga akibat racun mata-mata Belanda. Sementara itu ibunya Karsiti banting tulang untuk menghidupi keluarga, bekerja sebagai buruh tani dan kuli angkut.
Dedi kecil sudah terbiasa hidup prihatin. Ikan asin adalah kemewahan yang hanya bisa dinikmati di awal bulan, sedangkan hari-hari lainnya, ia harus puas dengan nasi dan garam bercampur bawang sebagai lauk. Demi jajan atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, ia harus berusaha sendiri yaitu berjualan es mambo, layang-layang, hingga mengumpulkan kayu bakar untuk dijual.
Keinginannya untuk memiliki domba pun membuatnya merengek kepada sang ibu, sesuatu yang jarang ia lakukan. Demi memenuhi impian anaknya, sang ibu rela menjual cincin seharga Rp 7.500 untuk membeli sepasang domba. Dari dua ekor, Dedi berhasil mengembangbiakkan hingga 40 ekor, yang kemudian menjadi penyokong biaya sekolahnya dan membantu ekonomi keluarga.
Dari Gagal Masuk Militer hingga Menjadi Aktivis
Sejak kecil, Dedi bercita-cita mengikuti jejak sang ayah menjadi tentara. Namun, mimpinya kandas karena berat badannya hanya 48 kg, jauh dari persyaratan minimal 55 kg. Tak patah semangat, ia mencoba peruntungan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), tetapi harus mengubur keinginannya karena keterbatasan biaya.
Dengan lima helai pakaian, ia merantau ke Purwakarta dan tinggal di rumah kontrakan reyot bersama kakaknya. Hidupnya jauh dari kata nyaman, tidur di lantai tanpa alas dan mengandalkan penghasilan kakaknya yang hanya Rp 100.000 per bulan. Namun, kondisi ini justru semakin membulatkan tekadnya.
Dedi akhirnya melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Purwakarta. Untuk membiayai kuliahnya, ia berjualan gorengan, beras, dan berbagai usaha kecil lainnya. Meski serba pas-pasan, ia tetap aktif berorganisasi dan mulai terjun ke dunia aktivisme.
Pada 1994, Dedi menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta. Ia juga aktif di dunia perburuhan, bergabung dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada 1997 dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pada 1998.
Langkah Awal di Dunia Politik
Dedi mulai mencuri perhatian sebagai sosok muda yang kritis dan berani. Pada 1999, ia terjun ke dunia politik dan berhasil menjadi anggota DPRD Purwakarta melalui Partai Golkar. Karier politiknya melesat saat ia didapuk sebagai Wakil Bupati Purwakarta pada 2003, mendampingi Lily Hambali.
Di tahun yang sama, ia menikah dengan Anne Ratna Mustika, setelah sebelumnya menikah dengan Sri Muliawati dan dikaruniai seorang anak. Dari pernikahan keduanya, Dedi memiliki dua anak sebelum akhirnya bercerai.
Pada Pilkada 2008, Dedi mencalonkan diri sebagai Bupati Purwakarta dan menang. Kepemimpinannya yang inovatif membuatnya kembali terpilih untuk periode kedua pada 2013-2018. Di bawah kepemimpinannya, Purwakarta dikenal dengan kebijakan yang berpihak pada budaya lokal dan kesejahteraan masyarakat.
Menanjak ke Level Provinsi
Karier politik Dedi tak berhenti di tingkat kabupaten. Ia semakin diperhitungkan setelah terpilih sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat. Pada 2018, ia mencoba peruntungan di Pilgub Jabar sebagai calon Wakil Gubernur mendampingi Deddy Mizwar, namun gagal.
Meski begitu, Dedi tak menyerah. Ia beralih ke panggung nasional dengan menjadi anggota DPR RI. Namun, panggilan untuk memimpin Jawa Barat terus menggema. Pada Pilgub Jabar 2024, ia maju sebagai calon gubernur melalui Partai Gerindra dan menang telak dengan raihan 62,22% suara atau 14.130.192 suara.
Gubernur Jawa Barat 2025-2030
Kini, Dedi Mulyadi bersiap menapaki babak baru dalam hidupnya. Pada 20 Februari 2025, ia akan resmi dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat untuk periode 2025-2030. Perjalanan panjangnya dari seorang anak desa yang hidup dalam keterbatasan hingga menjadi pemimpin tertinggi di provinsi terbesar di Indonesia adalah bukti bahwa kegigihan, kerja keras, dan tekad yang kuat dapat mengubah takdir seseorang.
Jawa Barat kini menanti kepemimpinan Dedi Mulyadi, seorang pemimpin yang lahir dari perjuangan dan memahami betul arti kehidupan rakyat kecil.
(Erik Fria Dewantara)