KARAWANG, JAWA BARAT | DerapHukum.click | Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menegaskan bahwa setiap bentuk narasi yang dimuat di media massa—termasuk kritik tajam terhadap pemerintahan—merupakan produk jurnalistik sah yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Bidang Kompetensi SDM DPD IWOI Karawang, Ade Kosasih, S.E., menyikapi pandangan sebagian publik yang menyebut bahwa narasi yang dianggap fitnah di media massa dapat langsung diproses secara pidana.
Mang Adk—sapaan akrab Ade Kosasih—menjelaskan bahwa produk jurnalistik yang sah meliputi berita, opini, dan feature. Ketiganya harus dimuat oleh media berbadan hukum dan memenuhi kaidah etika jurnalistik, termasuk prinsip cover both sides.
“Karena itu, narasi kritik setajam apa pun yang dimuat di media massa tidak bisa langsung dijerat pidana tanpa melalui proses penyelesaian sengketa di Dewan Pers,” tegas Mang Adk dalam pemaparan materi jurnalistik di Sekretariat DPD IWOI Karawang, Rabu (11/6/2025).
UU ITE Tidak Berlaku Langsung untuk Produk Jurnalistik
Mang Adk menyoroti UU No. 1 Tahun 2024 sebagai perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya Pasal 27 mengenai pencemaran nama baik dan penyebaran informasi menyesatkan secara daring. Ia menekankan bahwa pasal-pasal tersebut tidak serta-merta dapat diterapkan terhadap produk jurnalistik sah.
“UU Pers adalah lex specialis yang mengatur secara khusus penyelesaian sengketa pemberitaan. Dengan demikian, ketentuan umum dalam UU lain harus dikesampingkan jika menyangkut produk jurnalistik,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan adanya nota kesepahaman (MoU) antara Polri dan Dewan Pers yang menyebut bahwa laporan masyarakat terkait pemberitaan harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Dewan Pers.
“Jika hasil koordinasi menyimpulkan pelanggaran di luar koridor UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, barulah penegak hukum dapat memproses secara pidana,” imbuhnya.
Kasus YS Diduga Sarat Kepentingan
Terkait kasus Yusup Saputra (YS), terdakwa atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan akibat kritik terhadap pengelolaan CSR oleh BUMDes Pinayungan, Kecamatan Telukjambe Timur, yang dimuat di media massa, IWOI menduga ada kepentingan lain di balik pelaporannya.
“Yang dilaporkan justru bukan wartawan yang menulis, melainkan narasumber yang adalah mantan kepala desa. Ini patut diduga sebagai bentuk kriminalisasi narasumber,” kata Mang Adk.
Menurutnya, jika memang ada keberatan atas pemberitaan, maka seharusnya wartawan sebagai penulis dilaporkan lebih dulu—dan tetap melalui Dewan Pers.
IWOI Sesalkan Wartawan Jadi Saksi Tanpa Prosedur Pers
Mang Adk juga menyoroti penyidik dan jaksa yang memanggil wartawan penulis berita sebagai saksi tanpa koordinasi dengan Dewan Pers. Hal ini, menurutnya, telah melanggar Pasal 4 ayat (4) UU Pers yang memberikan hak tolak kepada wartawan.
“Kecuali ada rekomendasi dari Dewan Pers atau wartawan tersebut terlibat langsung, tidak semestinya ia dipanggil sebagai saksi,” tegasnya.
Ia menyebut wartawan tersebut sudah menjalankan prinsip cover both sides, namun pengacara pelapor menolak memberikan tanggapan, lalu justru melaporkan narasumber.
IWOI Kawal Kasus YS Sebagai Yurisprudensi
IWOI menyatakan akan mengawal kasus YS hingga putusan akhir, karena dianggap akan menjadi yurisprudensi penting mengenai benturan antara UU ITE dan UU Pers.
“Kasus ini akan menjadi kajian menarik dalam konteks kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi,” ujar Mang Adk.
Ia menutup dengan harapan bahwa YS dapat divonis bebas dan penyidik serta jaksa lebih menghormati MoU antara Polri dan Dewan Pers ke depan.(Red)