| DerapHukum.Click | Di tengah rimbunnya hutan dan kokohnya gunung-gunung Tanah Batak, lahirlah seorang pemimpin yang kelak akan menjadi nyala api perlawanan melawan penjajahan. Namanya Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, yang kemudian dikenal sebagai Sisingamangaraja XII, raja suci terakhir dan pejuang tak gentar dari utara Sumatera.
Dikenal dengan sorban putihnya yang bersih dan tatapan mata yang menyala oleh semangat perjuangan, Sisingamangaraja bukan sekadar raja — ia adalah simbol persatuan, marwah, dan kebangkitan rakyat Batak. Kala Belanda mulai mencengkeram tanah leluhur, ia bangkit, menyatukan para marga, dari Toba, Karo, hingga Mandailing, dan menggugah mereka dengan seruan yang menggema:
“Lebih baik mati bermartabat, daripada hidup dijajah!”
Perang gerilya pun meletus. Di bawah bayang-bayang hutan lebat dan celah tebing terjal, pasukannya menyerang tiba-tiba, lalu lenyap seperti kabut pagi. Belanda menyebutnya “hantu dari pegunungan,” karena keberadaannya sulit dideteksi, tetapi dampaknya mengguncang.
Namun, perjuangan besar selalu menuntut pengorbanan besar. Keluarganya ditangkap, rumahnya dibakar, tetapi semangatnya tak pernah padam. Ia terus bertempur, membawa harapan di pundaknya dan luka di dadanya.
Pada tanggal 17 Juni 1907, di hutan Dairi yang sejuk dan sunyi, Belanda mengepungnya. Dalam pertempuran sengit, Sisingamangaraja XII tertembak dan gugur. Ia tidak menyerah, bahkan di detik terakhir kehidupannya. Ia wafat sebagai martir, dengan kepala tegak dan darah pejuang mengalir di tanah yang dicintainya.
Namun, kematiannya bukanlah akhir — melainkan awal dari legenda.
Namanya hidup dalam syair, ukiran, dan jiwa generasi penerus. Ia adalah nyala yang tak padam, lambang keberanian dan harga diri orang Batak. Di setiap pegunungan yang diam, di setiap ombak Danau Toba yang berdebur, kisah Sisingamangaraja XII berbisik:
“Jangan pernah tunduk pada penjajahan, karena tanah ini milik kita.”
(Davis)