KARAWANG, | Deraphukum.click | Gunung Sanggabuana, sebuah kawasan yang menyimpan jejak sejarah panjang bagi masyarakat Sunda, kembali menjadi sorotan ketika Kang Dedi Mulyadi melakukan perjalanan menelusuri ekosistemnya. Sebagai sosok yang kerap mengangkat nilai-nilai budaya dan sejarah Sunda, Kang Dedi menyusuri gunung yang dipercaya sebagai salah satu tempat bertapa Prabu Siliwangi.
Dalam ekspedisinya, ia mendapati sejumlah satwa yang masih mendiami hutan Gunung Sanggabuana, seperti elang Jawa, lutung, bahkan harimau yang masih dipercaya berkeliaran di sana. Tak hanya menyaksikan keindahan alam, Kang Dedi juga menemukan air terjun yang tersembunyi di kaki gunung tersebut. Dengan penuh kekaguman, ia pun membasuh wajahnya dengan air yang mengalir jernih dari tebing.
“Raja-raja zaman dulu pikirannya cerdas karena yang mereka lihat seperti ini,” ujar Kang Dedi sambil menikmati kesegaran air terjun.
Batu Bertapa Prabu Siliwangi dan Jejak Pajajaran
Perjalanan berlanjut ke sebuah batu besar yang disebut sebagai tempat bertapa Prabu Siliwangi. Duduk di atasnya, Kang Dedi mengisahkan bagaimana Gunung Sanggabuana terhubung dengan sejarah Kerajaan Pajajaran.
“Dulu saya tidak menyadari bahwa Kutamanah (Purwakarta) dan Kuta Tandingan (Karawang) adalah benteng pertahanan Pajajaran. Sekarang baru saya paham, semuanya saling terkoneksi,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung bagaimana Pakuan Pajajaran, yang berpusat di Bogor, memiliki jalur strategis hingga ke Karawang dan wilayah sekitarnya. Seorang pecinta alam yang ikut dalam rombongan turut menambahkan bahwa di sekitar Sanggabuana terdapat Desa Tipar, yang konon dulunya digunakan untuk menyimpan logistik Adipati Singaperbangsa.
“Makanya, bekas prajurit Singaperbangsa sering terlihat di sekitar sini,” tambahnya.
Filosofi Ketuhanan dalam Budaya Sunda
Masih duduk di batu besar itu, Kang Dedi kemudian membahas filosofi ketuhanan dalam budaya Sunda. Baginya, gunung merupakan lambang spiritual yang sakral bagi masyarakat Sunda, serupa dengan konsep di budaya Jawa dan Bali.
“Orang Sunda melihat ketuhanan dalam bentuk gunung, seperti segitiga. Ini sejalan dengan konsep Tri Tangtu di Buana, di mana keseimbangan semesta mencakup tanah, air, udara, dan matahari,” jelasnya.
Petai untuk Satwa, Harmoni dengan Alam
Selain menelusuri jejak sejarah, Kang Dedi juga menunjukkan kepeduliannya terhadap keseimbangan ekosistem. Saat berjalan melewati hutan di kaki gunung, ia menemukan dua pemuda yang sedang memanen petai. Mengetahui bahwa petai adalah sumber makanan bagi satwa seperti kera, ia pun mengambil langkah tak terduga.
“Ada 70 papan petai, satu papan harganya Rp 2 ribu. Berarti totalnya Rp 140 ribu, tapi saya kasih Rp 1 juta dengan satu syarat petainya harus diletakkan kembali di dekat pohonnya,” kata Kang Dedi.
Awalnya, kedua pemuda itu ragu karena mereka hanya menjalankan tugas memanen. Namun setelah dijelaskan bahwa ini demi menjaga keseimbangan ekosistem agar satwa tidak turun ke pemukiman warga, mereka akhirnya setuju.
“Ini buat makan monyet,” ujar Kang Dedi sambil tersenyum.
Perjalanan Kang Dedi ke Gunung Sanggabuana bukan sekadar wisata sejarah, melainkan juga bentuk kepedulian terhadap alam dan budaya. Ia mengajarkan bahwa menjaga keseimbangan antara manusia, sejarah, dan ekosistem adalah bagian dari kebijaksanaan yang harus terus dilestarikan.