Batam | Deraphukum.click | Banjir yang kian meresahkan masyarakat Kota Batam kini menjadi perhatian serius kalangan akademisi. Prof. Dr. Ir. Chabullah Wibisono, MM, Guru Besar Ekonomi Syariah Universitas Batam, mengajukan pandangan ilmiah sekaligus spiritual yang mendalam dalam menjawab tantangan banjir di wilayah kepulauan tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul Solusi Mengatasi Banjir di Kota Batam, Prof. Chabullah menegaskan pentingnya pendekatan integratif: tidak hanya teknis, namun juga filosofis, regulatif, dan religius.
Pulau Batam yang dulunya merupakan bentang hutan tropis kini telah menjelma menjadi kawasan metropolitan yang maju. Namun, kemajuan ini datang dengan harga mahal. Alih fungsi lahan, pertumbuhan penduduk, ekspansi industri, dan pembangunan infrastruktur tanpa perencanaan lingkungan yang memadai telah memicu krisis ekologis. Salah satu dampak paling nyata adalah meningkatnya intensitas banjir, yang kini tak lagi mengenal musim.
Menurut Prof. Chabullah, penyebab banjir di Batam bukan semata-mata akibat hujan deras, tetapi lebih dalam lagi: akibat rusaknya ekosistem penyangga air. Kawasan resapan yang seharusnya menampung limpahan air hujan telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman dan komersial. Garis sempadan sungai dilanggar, drainase tersumbat oleh sampah dan sedimentasi, dan kesadaran publik terhadap kebersihan lingkungan sangat minim.
Yang menarik, Prof. Chabullah tidak hanya memaparkan akar masalah dari sisi teknis. Ia mengajak publik melihat persoalan ini dari sudut pandang wahyu. Dalam Surah Ar-Ra’d ayat 17 disebutkan bahwa air hujan turun dari langit dan mengalir sesuai ukuran dan tempatnya. Dalam pandangan beliau, ayat ini menegaskan bahwa sistem ekologis diciptakan dengan keseimbangan yang sempurna. Ketika lembah, rawa, dan danau—sebagai penampung alami air—dilenyapkan atau dialihfungsikan tanpa kendali, maka ketidakseimbangan akan berujung pada bencana seperti banjir.
Dalam rangka mencari solusi, Prof. Chabullah menawarkan strategi komprehensif berbasis pendekatan ilmiah dan nilai wahyu. Ia menekankan perlunya perlindungan terhadap danau dan lembah alami, yang dapat diwujudkan melalui penetapan zona lindung dalam rencana tata ruang dan pelarangan penimbunan kawasan rawan banjir. Selain itu, pembangunan kolam retensi baru di kawasan padat penduduk juga dinilai penting sebagai solusi teknis sekaligus ekologi—dengan fungsi ganda sebagai ruang terbuka hijau yang memperbaiki kualitas udara dan estetika kota.
Optimalisasi sistem drainase dan pembangunan rumah pompa pada titik-titik rawan juga menjadi prioritas. Namun, semua ini tak akan berhasil tanpa proses rehabilitasi yang menyeluruh, terutama dalam pengendapan sedimentasi di sungai dan parit. Pengawasan regulatif perlu diperkuat melalui lembaga seperti Forum Penataan Ruang Daerah (FPRD), dengan dukungan sistem digital seperti OSS untuk integrasi data tata ruang dan infrastruktur.
Prof. Chabullah juga menekankan pentingnya edukasi dan partisipasi publik. Menurutnya, perubahan signifikan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan aktif masyarakat, baik dalam menjaga kebersihan drainase maupun dalam proyek kolaboratif seperti pembangunan kolam retensi mikro di lingkungan warga.
Dalam penutupnya, beliau menyatakan bahwa permasalahan banjir tidak akan selesai jika hanya mengandalkan proyek teknis seperti pelebaran saluran air. Kota Batam memerlukan tata kelola lingkungan yang terintegrasi, berbasis data ilmiah, regulasi tegas, dan kesadaran spiritual atas amanah pengelolaan bumi. Dengan pendekatan ini, diharapkan Batam dapat tumbuh sebagai kota modern yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga nyaman, aman, dan harmonis dengan sunnatullah.
Tulisan Prof. Chabullah ini didasarkan pada referensi yang kuat, seperti Peraturan Daerah Kota Batam, laporan teknis BP Batam, ayat Al-Qur’an, dan diskusi formal bersama Pemko Batam. Kontribusinya membuka ruang diskusi dan refleksi mendalam bagi para pemangku kepentingan dalam merancang kebijakan pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada keselamatan ekologi dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan pemikiran visioner yang menggabungkan sains dan spiritualitas, Prof. Chabullah Wibisono sekali lagi menegaskan perannya sebagai akademisi yang tidak hanya berpikir global, tetapi juga bertindak lokal—demi Batam yang lebih baik. (Redaksi)