KARAWANG, (ARTIKEL) | Deraphukum.click | Banyak yang beranggapan bahwa Tri Tangtu di Salira adalah cerminan kecil dari peran manusia dalam kehidupan (insaniah manusia). Namun, lebih dari sekadar mikrokosmos, Tri Tangtu di Salira justru menjadi gambaran besar (makrokosmos) dari kemanusiaan kita sebagai pengemban misi rahmatan lil alamin. Dengan kesadaran itu, tugas utama kita sebagai manusia adalah menciptakan dan menebarkan keselamatan serta kesejahteraan bagi sesama.
Akal Budi dan Tata Kelola Kehidupan
Dalam Tri Tangtu di Salira, akal budi menjadi fondasi utama. Ketika manusia mengaktualisasikan peran kemanusiaannya, yang muncul adalah tanggung jawab untuk membangun tatanan sosial dan kehidupan berbangsa (Jati Nagara). Dengan pemahaman ini, kita pun memiliki kewajiban untuk menjaga harmoni, termasuk dalam kehidupan beragama, bermodal filosofi ini sebagai makhluk sosial.
Lebih dari itu, manusia harus mampu memainkan perannya dalam berbagai aspek kehidupan yaitu ideologi, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ketika kesadaran ini sudah melekat dalam pikiran dan perasaan kita, maka akan mengalirlah keseimbangan dan harmoni di dunia (Tri Tangtu di Balarea). Jika semua itu benar-benar diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan matang dalam memahami esensi cinta kasih, sifat rahman dan rahim yang diajarkan oleh setiap agama.
Mewujudkan Keseimbangan Semesta: Tri Tangtu di Buana
Cinta kasih, rahman, dan rahim dalam peran manusia sebagai rahmat bagi semesta akan membawa kita menuju pemahaman lebih tinggi: Tri Tangtu di Buana (Jati Kusumah). Pada tahap ini, manusia mampu mengelola segala elemen kehidupan, baik dalam skala kecil maupun besar dengan adil dan bijaksana. Ini mencakup aspek kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Dalam perjalanan menuju peradaban yang lebih tinggi, budaya berperan sebagai pilar utama. Pamor Kujang Pajajaran menjadi simbol kearifan yang membimbing kita untuk mewujudkan Jati Kusumah (Pakujajar Hanjuang Siyang). Esensinya adalah menciptakan bentuk dan rasa keadilan bagi semua pihak, baik untuk diri sendiri (adil ka diri), masyarakat luas (adil ka balarea), maupun kepentingan bersama (adil ka sarerea).
Dengan menjunjung nilai-nilai ini, kita bisa menjadi bangsa yang berdaulat dan merdeka lahir batin. Filosofi ini tercermin dalam prinsip: teu sirik, pidik, jail, kaniaya. Teu sudi ngajajah, teu sudi dijajah. Nilai-nilai ini dulu telah menjadi karakter kepemimpinan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa, yang berhasil membangun dan memakmurkan Pajajaran. Pujian dari sejarawan Barat seperti Tome Pires menjadi bukti betapa kejayaan Pakuan Pajajaran lahir dari kemauan dan kemampuan manusia dalam menciptakan harmoni dengan alam dan sesamanya sebagai bentuk bakti kepada Tuhan.
Realitas yang Tergerus Modernitas
Namun, semua keseimbangan ini mulai goyah. Modernitas yang tak terkendali telah menggerus nilai-nilai luhur yang dulu menjadi pegangan hidup. Kondisi ini tergambar jelas dalam rumpaka berikut:
Kawung mabur carulukna,
Gula leungiteun ganduan,
Samak tingaleun pandana,
Ciherang karih kiruhna.
Cai amis kintun paitna,
Kyai leungiteun aji,
Pandita ilang komara,
Kahuruan ku napsuna.
Makna yang tersirat dalam rumpaka ini begitu dalam. “Kawung kehilangan putiknya” mencerminkan ancaman hilangnya generasi penerus akibat gizi buruk, narkoba, dan krisis moral. “Gula kehilangan takarannya” menunjukkan destandarisasi nilai, di mana manusia semakin sering menilai sesama tanpa ukuran yang jelas.
“Tikar ditinggalkan pandan” adalah metafora dari praktik manipulasi yang melahirkan korupsi, suap, dan segala bentuk penyimpangan. “Yang jernih tinggal keruhnya” menggambarkan lingkungan yang semakin rusak, sementara “kyai kehilangan aji” dan “pandita kehilangan wibawa” mencerminkan merosotnya integritas para pemimpin spiritual dan intelektual.
Semua ini terjadi karena manusia dikuasai oleh nafsu dan kepentingan sesaat. Akibatnya, negeri ini sering dirundung kegaduhan, kehilangan arah, dan tercerabut dari akar budayanya.
Kembali ke Jati Diri: Menemukan Tri Tangtu di Salira
Inilah saatnya kita melakukan refleksi. Kita harus kembali mengkaji diri agar tahu diri, mengenali kembali siapa kita, dan menyadari tanggung jawab kita sebagai manusia. Sudah saatnya kita menemukan kembali Tri Tangtu di Salira bukan sekadar konsep, tetapi sebagai pedoman dalam membangun akhlak dan peradaban.
Perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Dengan membenahi akhlak pribadi, kita dapat menata kembali kehidupan sosial, menghidupkan kembali harmoni dengan alam, dan akhirnya mewujudkan keseimbangan sejati.
Inilah saatnya kita kembali kepada akar nilai-nilai luhur yang menjadikan manusia sebagai penjaga kehidupan, pencipta kesejahteraan, dan penyebar rahmat bagi semesta.
(Gilga P)