Deraphukum.click | Masyarakat Pertanyakan Transparansi Operator Seluler atas Kuota yang Hangus Tiap Bulan sejak tahun 2009 hingga sekarang tahun 2025
Keresahan masyarakat terhadap sistem penggunaan kuota internet dari operator seluler kembali mencuat. Pasalnya, kuota internet yang dibeli setiap bulan oleh pengguna akan hangus jika masa aktifnya habis, meskipun masih tersisa dalam jumlah besar. Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius: ke mana perginya sisa kuota yang tidak terpakai?
Sejumlah pelanggan menduga adanya praktik yang tidak transparan, bahkan ada yang menyebut ini sebagai bentuk “korupsi kuota” oleh pihak penyedia layanan internet. Meskipun tidak dalam arti hukum formal, istilah ini menggambarkan rasa kecewa dan kecurigaan masyarakat atas sistem yang dinilai merugikan konsumen.
“Setiap bulan kita bayar kuota, kadang belum habis sudah hangus karena masa aktifnya selesai. Tapi tak ada kejelasan, sisa kuota itu dikemanakan? Apakah tidak seharusnya bisa diakumulasi atau dikembalikan bentuk lain?” ujar Ahmad Rifai (33), warga Kecamatan Telagasari, Karawang.
Menurut Rifai, banyak pelanggan merasa seperti “dipaksa membeli udara” karena produk digital ini tak memiliki bentuk fisik dan tidak ada transparansi teknis tentang pengelolaannya.
Sejumlah aktivis perlindungan konsumen pun menuntut agar pemerintah melalui Kominfo dan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) menelusuri lebih jauh praktik ini. Mereka mendesak adanya audit terhadap sistem pengelolaan kuota oleh operator seluler.
“Ini persoalan keadilan digital. Jangan sampai masyarakat terus dirugikan dalam hal yang tidak terlihat, tapi nilainya besar jika dikalkulasi secara nasional,” ujar Hendra Lesmana, pengamat telekomunikasi dari Lembaga Konsumen Digital Indonesia.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada penjelasan resmi dari pihak operator terkait kejelasan nasib sisa kuota yang hangus. Beberapa operator sebelumnya beralasan bahwa kuota adalah bagian dari layanan berbasis waktu dan tidak bisa diakumulasi, namun masyarakat menilai jawaban tersebut tidak cukup menjawab kerugian konsumen.(Lukmanul Hakim)