Indramayu, Jawa Barat | Deraphukum.click | Gerakan Rakyat Indramayu (GRI) menggelar deklarasi petisi menuntut Bupati Indramayu, Lucky Hakim, dan Wakil Bupati Saefudin mundur dari jabatannya. Mereka menilai kepemimpinan keduanya gagal membawa perubahan bagi Kabupaten Indramayu.
Deklarasi tersebut digelar pada Jumat (5/9/2025) di kompleks pemakaman Raden Bagus Arya Wiralodra, Sindang, Indramayu. Aksi ini dipimpin oleh Muhammad Sholihin, aktivis ’98 yang juga pernah maju sebagai calon Bupati Indramayu pada Pilkada 2021 melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
GRI mengajukan 10 poin tuntutan yang menyoroti dugaan praktik jual beli jabatan, pengondisian proyek APBD 2025 yang sarat transaksi, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
> “Kami menilai kepemimpinan Bupati Lucky gagal total. Hampir semua sektor diwarnai praktik transaksional. Kami, atas nama rakyat Indramayu, mendesak agar Bupati Lucky mundur dari jabatannya,” ujar Sholihin usai deklarasi.
Poin-Poin Tuntutan GRI
1. Kepemimpinan Bupati–Wakil Bupati Indramayu gagal, terindikasi KKN.
2. Berantas praktik jual beli jabatan.
3. Hentikan transaksi proyek APBD Indramayu.
4. Berantas mafia korupsi di BPR Karya Remaja, BWI, dan PDAM Indramayu.
5. Kembalikan fungsi Asrama Haji Indramayu.
6. Tolak pengalihan RSUD Sentot Patrol ke Provinsi Jawa Barat.
7. Anggarkan infrastruktur pemekaran Indramayu Barat melalui APBD.
8. Turunkan pajak PBB, pajak pertanian, dan pajak hiburan.
9. Dorong investasi dan industri yang berpihak pada pengurangan pengangguran.
10. Segera renovasi Masjid Islamic Center Indramayu yang kondisinya memprihatinkan.
Sholihin juga menyerukan aksi demonstrasi besar pada 7 Oktober 2025 mendatang sebagai bentuk desakan kepada Bupati Lucky agar segera mundur.
Respons Bupati Belum Ada
Hingga berita ini diturunkan, Bupati Indramayu Lucky Hakim belum memberikan tanggapan terkait tuntutan tersebut. Konfirmasi yang dikirimkan wartawan melalui WhatsApp pada Sabtu (6/9/2025) belum direspons.
Mekanisme Pemakzulan Kepala Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), kepala daerah dapat diberhentikan karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan melalui mekanisme resmi.
Guru Besar IPDN, Djohermansyah Djohan, menyatakan bahwa kepala daerah dapat dimakzulkan jika kebijakannya menimbulkan keresahan masyarakat atau melanggar sumpah jabatan. Proses pemakzulan dimulai dari DPRD melalui hak angket atau interpelasi, lalu hasilnya diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diuji dalam waktu maksimal 30 hari.
Jika MA menyetujui, DPRD akan menggelar rapat paripurna dengan dukungan minimal dua pertiga anggota yang hadir. Keputusan akhir pemberhentian kemudian diajukan kepada Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri untuk ditetapkan secara resmi.(Tati.S)