| Deraphukum.click | Kasus penetapan tersangka dan penahanan terhadap aktivis muda Figa Lesmana membuka kembali perdebatan penting mengenai posisi kebebasan berekspresi di Indonesia. Pada 25 Agustus 2025, Figa melakukan siaran langsung di media sosial ketika aksi demonstrasi berlangsung di kawasan Slipi. Aktivitas tersebut kemudian dipersoalkan aparat, yang menilai konten live streaming itu mendorong keresahan. Tak lama, pada 29 Agustus 2025 laporan polisi dibuat, dan hanya sehari kemudian Figa ditetapkan sebagai tersangka. Ia kemudian dijemput paksa pada 1 September 2025 dan ditahan sejak 2 September 2025.
Pertanyaan mendasar muncul: apakah langkah penegakan hukum ini berpotensi sejalan atau justru bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi yang dijanjikan konstitusi?
Perspektif Filosofis
Secara filosofis, kebebasan berekspresi merupakan bagian dari hakikat kemanusiaan yang melekat pada setiap individu. Ia tidak lahir dari negara, melainkan dari martabat manusia itu sendiri. Negara hanya berkewajiban menjamin, bukan mencabutnya. Dalam masyarakat demokratis, ruang aman untuk menyuarakan pendapat seharusnya dilindungi, karena di situlah wujud penghormatan terhadap martabat manusia tercermin.
Perspektif Sosiologis
Dari sisi sosiologis, penahanan terhadap Figa berpotensi menimbulkan efek jera (chilling effect) bagi masyarakat, terutama generasi muda yang aktif bersuara di ruang digital. Bila ekspresi politik yang sah dipersepsikan atau diperlakukan sebagai tindak pidana, maka publik dapat merasa takut berpartisipasi dalam wacana demokrasi. Alih-alih memperkuat legitimasi hukum, praktik seperti ini justru dikhawatirkan berisiko menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Perspektif Yuridis
Secara yuridis, ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, Pasal 28E UUD 1945 menjamin hak untuk berpendapat. Kedua, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang pada Pasal 19 menegaskan hak atas kebebasan berekspresi. Ketiga, KUHAP mengatur penetapan tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup dengan tetap menjunjung asas praduga tak bersalah.
Preseden hukum juga mendukung hal ini. Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 menegaskan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi hanya sah bila dilakukan secara ketat dan proporsional. Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 menekankan pentingnya due process of law agar tidak terjadi kriminalisasi sewenang-wenang. Bahkan, Mahkamah Agung melalui Putusan No. 1537 K/Pid.Sus/2014 pernah membatalkan pemidanaan aktivis karena kritik sosial dianggap bukan tindak pidana.
“Kasus ini bukan hanya soal Figa Lesmana, tetapi soal ruang demokrasi di Indonesia. Jika suara kritis berpotensi dibungkam melalui kriminalisasi, maka bangsa ini sedang berjalan mundur dari cita-cita reformasi,” ujar Asep Denda Triana, S.H, Direktur Eksekutif Utama LBH Pelita Kebenaran Nusantara sekaligus Tim Advokasi Figa Lesmana.
“Kami menegaskan bahwa membela Figa berarti membela konstitusi, membela kebebasan sipil, dan menjaga martabat bangsa dari praktik yang berpotensi sewenang-wenang,” tambahnya.
Penutup
Kasus Figa Lesmana sepatutnya dipandang sebagai ujian bagi konsistensi bangsa dalam menjunjung demokrasi dan hak asasi manusia. Penegakan hukum seyogianya tidak dijadikan alat pembungkam, melainkan instrumen untuk memastikan keadilan. Membela Figa bukanlah sekadar membela seorang individu, tetapi menjaga agar ruang konstitusional kita tidak dipersempit oleh tafsir hukum yang keliru.
Sebagai bagian dari Tim Advokasi Figa Lesmana sekaligus Direktur Eksekutif LBH Pelita Kebenaran Nusantara (LBH P.K.N), beliau menegaskan bahwa praktik yang berpotensi menjadi kriminalisasi terhadap ekspresi sah harus dihentikan. Negara kuat bukan karena warganya bungkam, melainkan karena berani menjamin kebebasan warganya untuk bersuara.(Lukmannul Hakim)