BATAM-KEPRI | Deraphukum.click | Angin sore berhembus lembut di Bukit Indah Piayu, menyentuh tanah merah yang masih basah oleh hujan. Langit kelabu yang menggantung di ufuk barat perlahan merekah, memperlihatkan cahaya keemasan yang menyelinap di antara awan.
Di kaki bukit itu, Masjid Jabal Fattah berdiri dalam kesederhanaannya. Bangunan itu belum sempurna—dindingnya belum ada, lantainya masih tanah, dan atapnya hanya separuh terpasang. Namun, kehadirannya telah menjadi magnet bagi mereka yang hatinya rindu akan Allah.
Di sudut masjid yang masih terbuka, seorang lelaki bernama Ridho Ilahi duduk bersila, bersandar pada tiang kayu yang belum bercat. Tatapannya menembus cakrawala, seakan menanti sesuatu yang tak kasatmata. “Pelangi pasti datang,” gumamnya lirih, seolah berbicara kepada angin.
Langkah kecil terdengar mendekat. Seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun, Asmaulhusna, datang berlari dengan napas tersengal. Mata beningnya memantulkan sisa hujan yang masih menggenang di tanah. “Kak Ridho, masjid kita belum diresmikan, ya?” tanyanya polos.
Ridho Ilahi tersenyum, mengusap kepala gadis itu dengan lembut. “Belum, Nak. Tapi tahukah kamu? Masjid ini sudah mulai diresmikan oleh langkah-langkah kecil kita yang datang untuk beribadah.”
Asmaulhusna mengernyitkan dahi. “Tapi orang-orang bilang, kalau belum diresmikan, berarti belum benar-benar jadi.”
Ridho menghela napas panjang. “Masjid bukan sekadar bangunan, Nak. Ia adalah rumah Allah. Bukan peresmian dengan gunting pita yang membuatnya hidup, tapi doa-doa yang terucap di dalamnya, sujud-sujud yang khusyuk, dan langkah-langkah kecil yang datang dengan niat tulus.”
Gadis kecil itu terdiam, menatap bangunan yang belum sempurna itu dengan pandangan berbeda. “Kalau begitu, apakah Allah sudah melihat kita di sini?”
Ridho Ilahi tersenyum hangat. “Allah selalu melihat, Nak. Bahkan ketika kita belum memasang dinding, bahkan ketika lantainya masih tanah. Dia melihat niat kita, lebih dari apa pun yang tampak di mata manusia.”
Langit mulai berubah warna. Awan kelabu perlahan tersibak, membuka ruang bagi semburat warna-warni yang melengkung di cakrawala. Pelangi itu muncul, melintang indah di atas Masjid Jabal Fattah yang belum sempurna.
Asmaulhusna berseru girang. “Kak Ridho! Pelanginya ada!”
Ridho menatap ke arah langit dengan mata berkaca-kaca. “MasyaAllah… Itulah tanda bahwa setiap usaha kita, sekecil apa pun, selalu diperhitungkan oleh-Nya.”
Gadis kecil itu menggenggam tangan Ridho erat-erat. “Kalau aku ingin melihat pelangi surga yang sesungguhnya, apa yang harus aku lakukan?”
Ridho menatap gadis itu dengan penuh kasih. “Jadilah orang yang sabar, Nak. Karena pelangi hanya muncul setelah hujan. Dan surga hanya bisa dicapai dengan ketulusan, kesabaran, dan amal kebaikan yang tak kenal pamrih.”
Langkah-Langkah Kecil di Jalan Cahaya
Hari-hari berlalu, dan Masjid Jabal Fattah masih berdiri dalam keterbatasannya. Namun, setiap sore, langkah-langkah kecil terus berdatangan. Ada anak-anak yang mengaji di bawah langit terbuka, ada lelaki tua yang berzikir di atas tanah merah, dan ada ibu-ibu yang duduk bersama, berbagi harapan dan doa.
Suatu sore, hujan turun dengan deras. Ridho dan beberapa jamaah yang datang lebih awal terpaksa bernaung di bawah atap yang belum rampung. Air menetes dari celah-celah kayu, menggenang di sudut-sudut masjid.
“Seandainya masjid ini sudah sempurna, kita tak perlu kehujanan,” gumam seseorang.
Ridho hanya tersenyum. “Hujan ini berkah. Tanah yang kita injak akan menjadi saksi bahwa kita pernah beribadah di sini, bahkan sebelum masjid ini sempurna.”
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa masjid ini membutuhkan lebih dari sekadar doa. Dibutuhkan tangan-tangan dermawan yang sudi berbagi, yang ingin menanam benih kebaikan untuk kehidupan yang lebih abadi.
Membangun Rumah di Surga
Malam itu, Ridho duduk termenung di serambi masjid, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ia teringat pada sabda Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa membangun masjid karena Allah, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hatinya bergetar. Ia tahu, di luar sana, ada hati-hati yang lembut, tangan-tangan yang selalu ingin memberi, dan jiwa-jiwa yang merindukan rumah di surga.
Dengan penuh harap, ia mulai menulis sebuah pesan yang akan disebarkan ke seluruh penjuru kampung:
“Wahai hati-hati yang merindu surga,
Di sini, di tanah suci yang masih beralas debu, suara takbir telah berkumandang meski dindingnya belum tegak. Air mata sujud telah jatuh meski sajadahnya masih berlapis tanah. Langit pun mengirimkan pelangi, seakan berbisik kepada kita, ‘Siapakah yang ingin menanam rumah di surga?’
Ketahuilah, setiap rupiah yang kau wakafkan, setiap doa yang kau lantunkan, tak pernah hilang. Ia akan menjelma menjadi taman yang rindang di surga, menjadi sungai yang mengalir di bawah istana megahmu kelak.
Bukan aku yang menjanjikan, tapi Dia— Rabb yang Mahakaya, yang menciptakan cinta agar kita saling memberi. Wahai jiwa-jiwa yang merindu pelangi surga, masjid ini adalah ladang kebaikan. Tempat di mana doa-doa akan mengalir tanpa henti, tempat di mana setiap rakaat akan menjadi saksi, tempat di mana engkau akan dikenang, bukan oleh manusia, tetapi oleh malaikat yang mencatat kebaikanmu tanpa lupa.
Jangan biarkan rumah Allah ini menunggu terlalu lama. Karena setiap detik adalah kesempatan, dan setiap kesempatan adalah jalan menuju keabadian.
Berikanlah bukan karena banyak, tapi karena cinta. Sebab yang sedikit, bila diberkahi, akan menjadi cahaya yang tak pernah padam.
Mari kita bangun masjid ini, bukan sekadar dengan harta, tetapi dengan cinta, dengan keikhlasan, dengan harapan. Agar kelak, ketika kita telah tiada, doa-doa tetap mengalir untuk kita, dan pahala tak pernah berhenti mencatat nama kita di sisi-Nya.
Sebab janji Allah itu pasti. Dan surga adalah jaminan bagi mereka yang berlomba dalam kebaikan.”
Pelangi Surga di Langit Jabal Fattah
Hari berganti, dan pesan itu menyebar ke berbagai penjuru. Seorang saudagar datang dengan bahan bangunan, seorang ibu menyerahkan tabungannya, seorang anak kecil mengulurkan koin-koin dari celengannya.
Langkah-langkah kecil mulai membangun dinding, atap pun mulai dipasang, dan lantai masjid tak lagi hanya tanah merah. Masjid Jabal Fattah semakin kokoh, bukan hanya oleh semen dan bata, tetapi oleh doa dan cinta yang mengalir di setiap bagiannya.
Di suatu senja yang syahdu, saat bangunan telah hampir rampung, langit kembali mengirimkan pelangi. Kali ini lebih indah, lebih terang.
Asmaulhusna menatap kagum. “Kak Ridho, pelanginya ada lagi!”
Ridho tersenyum, menatap ke langit. “MasyaAllah… Pelangi surga itu nyata, Nak. Ia bukan hanya di langit, tapi juga di setiap kebaikan yang kita lakukan di dunia.”
(Nursalim Tinggi)


