Deraphukum.click | Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menjadi sorotan dan viral di media sosial setelah munculnya perubahan penting yang memengaruhi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus korupsi di BUMN.
Salah satu poin krusial dalam regulasi baru ini adalah tidak lagi dianggapnya anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN sebagai penyelenggara negara. Implikasinya, KPK tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki dugaan korupsi yang melibatkan mereka.
Perubahan Kewenangan KPK
UU BUMN yang baru merevisi batasan wewenang KPK. Sebelumnya, lembaga antirasuah ini berwenang mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat di lingkungan BUMN. Namun, dengan status baru yang tidak lagi mengkategorikan mereka sebagai penyelenggara negara, kewenangan tersebut menjadi terbatas.
Reaksi Publik dan Polemik
Kebijakan ini menuai kritik tajam dari masyarakat, akademisi, dan pegiat antikorupsi. Banyak pihak menilai langkah ini berisiko melemahkan upaya pemberantasan korupsi di sektor BUMN serta membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Kontroversi Pasal 9G
Pasal 9G menjadi pusat kontroversi dalam UU BUMN. Pasal ini secara tegas menyebutkan bahwa direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan penyelenggara negara. Ketentuan inilah yang dianggap sebagai landasan hukum bagi terbatasnya peran KPK dalam mengusut praktik korupsi di perusahaan pelat merah.
Dampak dan Antisipasi
Sejumlah pihak mengkhawatirkan potensi meningkatnya kasus korupsi di BUMN pasca-berlakunya UU ini. Selain itu, kepercayaan publik terhadap integritas BUMN dikhawatirkan menurun akibat terbatasnya pengawasan oleh KPK.
Kajian dan Rekomendasi
Merespons polemik ini, berbagai lembaga riset dan organisasi masyarakat sipil mulai melakukan kajian terhadap dampak UU BUMN yang baru. Penelitian ini ditujukan untuk memberikan rekomendasi konkret guna memperkuat akuntabilitas dan pencegahan korupsi di sektor BUMN.(Lukmanul Hakim)

