KARAWANG, JAWA BARAT | Deraphukum.click | Kejaksaan Negeri (Kejari) Karawang menetapkan GBR, mantan sekaligus Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PD Petrogas Persada, sebagai tersangka dalam dugaan korupsi keuangan BUMD tersebut. Kerugian negara akibat dugaan korupsi ini ditaksir mencapai Rp7,1 miliar.
Penetapan tersangka disampaikan Kepala Kejari Karawang, Syaifullah, SH., MH., dalam konferensi pers pada Rabu (18/6/2025). GBR turut dihadirkan dalam acara tersebut dan dikawal ketat aparat TNI-Polri.
“GBR diduga menarik dana dari rekening perusahaan tanpa dasar hukum yang sah sejak 2019 hingga 2024. Tindakan ini menimbulkan kerugian besar bagi keuangan negara,” ujar Syaifullah.
Penyidikan kasus ini mengacu pada Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT-514/M.2.26/Fd.2/03/2025. GBR tercatat menjabat Plt Dirut pada 2012–2014, Dirut definitif 2014–2019, dan kembali menjadi Plt sejak 2019. Selama periode tersebut, kegiatan keuangan dan investasi perusahaan diduga tidak pernah mengacu pada Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang sah.
PD Petrogas merupakan BUMD yang mengelola Participating Interest (PI) 8,24% di wilayah kerja Offshore North West Java (ONWJ) bersama PT MUJ ONWJ.
GBR disangkakan melanggar:
Primair: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor
Subsidiair: Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) UU yang sama
Kejaksaan juga menyita dua rekening Bank Jabar milik PD Petrogas dengan total saldo Rp101,1 miliar, berdasarkan surat perintah penyitaan dan penetapan dari Pengadilan Negeri Karawang.
Syaifullah menegaskan, pihaknya tidak menutup kemungkinan adanya tersangka lain dalam perkara ini.
“Jika ada pihak lain yang terlibat, kami akan dalami. Tidak ada tebang pilih dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan publik, Rikal Lesmana, SH., menilai langkah Kejari Karawang sudah tepat dan profesional.
“Seluruh proses penyidikan hingga penyitaan aset dilakukan sesuai koridor hukum yang sah. Ini menunjukkan Kejari Karawang bekerja hati-hati dan objektif,” katanya.
Rikal menambahkan, kasus ini menjadi momentum penting untuk pembenahan BUMD.
“BUMD sering luput dari sorotan, padahal mengelola aset penting milik daerah. Harus ada reformasi sistem pengawasan dan tata kelola agar praktik seperti ini tidak terulang,” ujarnya.
Menurut Rikal, penyitaan yang dilakukan sudah sesuai Pasal 39 KUHAP, sementara penggunaan pasal 2 dan 3 UU Tipikor tepat dalam konteks penyalahgunaan wewenang.
“Kasus korupsi di BUMD kerap mencerminkan lemahnya transparansi, pengawasan internal, dan campur tangan politik. Penindakan ini harus diikuti reformasi kelembagaan agar kepercayaan publik pulih,” lanjutnya.
Rikal juga menekankan, penegakan hukum harus menjangkau korupsi di level daerah, bukan hanya pusat. Ia menilai keberanian Kejari Karawang membongkar kasus ini patut dicontoh kejaksaan lain.
“BUMD seharusnya mendukung pelayanan publik dan pembangunan daerah, bukan jadi sarang penyalahgunaan wewenang,” tandasnya.
Ia mengajak masyarakat mengawal jalannya penyidikan dengan bijak.
“Publik berhak mengawasi, tapi jangan berspekulasi. Beri ruang kepada kejaksaan untuk bekerja secara objektif dan profesional,” pungkas Rikal.(Red)