Batam, Kepulauan Riau | DerapHukum.click | Oleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.
Humas Perkumpulan Muballigh Kota Batam
Ketua Fahmi Tamami Aswaja Kota Batam
Kerukunan antarumat beragama merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebagai negara yang majemuk, Indonesia dibangun di atas semangat saling menghormati serta hidup berdampingan secara damai di tengah perbedaan keyakinan.
Namun demikian, kerukunan tidak boleh dimaknai secara keliru hingga mengaburkan batas-batas prinsip akidah masing-masing pemeluk agama. Di sinilah umat Islam dituntut untuk bersikap arif, berilmu, dan proporsional dalam menyikapi dinamika sosial yang berkembang.

Salah satu persoalan yang kerap muncul di tengah masyarakat adalah undangan menghadiri open house Natal dari umat Nasrani, baik yang datang dari rekan kerja, atasan, maupun relasi sosial lainnya.
Situasi semacam ini tidak jarang menimbulkan tekanan sosial serta kebingungan, khususnya bagi umat Islam yang ingin menjaga hubungan baik tanpa melanggar keyakinan agamanya.
Dalam pandangan syariat Islam, persoalan tersebut bukanlah hal baru. Para ulama telah memberikan penjelasan yang cukup tegas mengenai larangan seorang muslim menghadiri perayaan hari raya agama lain.
Larangan ini bukan didasarkan pada sikap permusuhan atau kebencian, melainkan pada prinsip menjaga akidah dan kemurnian tauhid. Hari raya dalam setiap agama bukan sekadar acara sosial, melainkan simbol keimanan dan ekspresi ibadah yang memiliki makna teologis mendalam.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam karyanya Ahkām Ahli Al-Dzimmah menegaskan bahwa kehadiran seorang muslim dalam perayaan hari raya agama lain termasuk bentuk pengakuan dan partisipasi terhadap syiar keagamaan tersebut, yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Pandangan ini diperkuat oleh penafsiran para ulama terhadap firman Allah SWT dalam Surah Al-Furqan ayat 72, yang menyebutkan ciri hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih, yaitu mereka yang tidak menghadiri kebatilan, termasuk perayaan keagamaan di luar Islam.
Selain itu, Rasulullah SAW juga memberikan peringatan agar umat Islam tidak menyerupai kaum lain dalam hal-hal yang menjadi ciri khas keagamaan mereka. Hari raya merupakan identitas suatu agama, sehingga keterlibatan di dalamnya—baik secara langsung maupun simbolik—harus dihindari oleh seorang muslim yang ingin menjaga konsistensi imannya.
Meski demikian, Islam tetap mengajarkan sikap toleran, adil, dan berbuat baik kepada seluruh manusia tanpa memandang agama, suku, maupun latar belakang.
Menjaga hubungan sosial, bekerja sama dalam urusan kemasyarakatan, serta menghormati hak-hak pemeluk agama lain merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Namun, toleransi tidak berarti mencampuradukkan keyakinan atau ikut serta dalam ritual dan perayaan agama lain.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, sikap menolak menghadiri open house Natal hendaknya disampaikan dengan cara yang santun, beradab, dan penuh penghormatan. Penolakan yang disertai penjelasan yang baik justru dapat memperkuat saling pengertian antarumat beragama. Dengan demikian, umat Islam tetap teguh menjaga akidah sekaligus berkontribusi dalam merawat harmoni sosial.
Kerukunan sejati bukanlah hasil dari pengorbanan iman, melainkan buah dari sikap saling memahami batas keyakinan masing-masing. Ketika setiap pemeluk agama konsisten terhadap ajarannya dan menghormati ajaran orang lain, persatuan dan kedamaian akan tumbuh secara alami.
Inilah semangat Islam wasathiyah yang relevan untuk terus dikembangkan di Kota Batam dan Indonesia pada umumnya: teguh dalam iman, santun dalam pergaulan, dan dewasa dalam menyikapi perbedaan.
(Red)

