Jakarta | DerapHukum.click | Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar warga negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Namun, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan dinilai sebagian kalangan justru membebani rakyat dengan iuran bulanan yang dianggap mengkomersialisasi hak konstitusional.
Kritik mengemuka bahwa skema BPJS tidak sepenuhnya mencerminkan jaminan sosial, melainkan sarat kepentingan politik dan birokrasi. Rakyat dipaksa membayar iuran meski sudah menunaikan kewajiban pajak. Dana triliunan rupiah yang terkumpul disebut-sebut ditempatkan di perbankan dan instrumen obligasi negara, sementara pembayaran klaim rumah sakit sering mengalami keterlambatan.
Skema yang Dipersoalkan:
1. Double Burden – Rakyat harus membayar pajak sekaligus iuran untuk hak yang sama.
2. Float Funds – Dana iuran mengendap di bank, menimbulkan keuntungan yang dinilai tidak transparan.
3. Obligasi Negara – Dana digunakan untuk menutup defisit APBN, bukan murni layanan kesehatan.
4. Delay of Claim – Rumah sakit dibayar lambat sehingga mengganggu operasional layanan.
5. Rente Politik – Proyek obat, alat kesehatan, hingga sistem digital rawan dijadikan bancakan pejabat.
Pihak yang Dirugikan
Masyarakat kecil, yang diwajibkan membayar iuran tetapi kerap menerima layanan terbatas bahkan klaim ditolak karena alasan administratif.
Rumah sakit, yang mengalami kesulitan arus kas akibat keterlambatan pencairan klaim.
Hak konstitusional, yang menurut pengkritik digantikan dengan kewajiban iuran wajib.
Kritik terhadap BPJS menilai bahwa negara dengan kekayaan alam berlimpah seharusnya mampu membiayai kesehatan warganya tanpa memungut iuran. Namun kenyataannya, rakyat masih dibebani, sementara sebagian elite politik dan pejabat diduga meraup keuntungan dari sistem ini.
(Red)