Kepulauan Riau | DerapHukum.click | Oleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.
Ketua Fahmi Tamami Aswaja Kota Batam | Ketua APEBSKID Provinsi Kepulauan Riau
Pada fase tertentu dalam kehidupan, manusia akan sampai pada titik perenungan paling jujur tentang dirinya. Ia menyadari bahwa di hadapan Allah SWT, tidak ada yang benar-benar pantas dibanggakan. Amal kebaikan yang pernah dilakukan terasa kecil, bahkan rapuh, jika disandingkan dengan nikmat dan kasih sayang Allah yang begitu luas. Kesadaran ini bukan untuk meruntuhkan harapan, melainkan melahirkan kerendahan hati—sebuah sikap batin yang menjadi pintu awal kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.
Merasa miskin secara spiritual bukanlah tanda kegagalan iman. Justru di sanalah hidup kesadaran ruhani. Seorang hamba yang jujur akan memahami bahwa keselamatan tidak lahir dari rasa puas terhadap amal, melainkan dari pengakuan bahwa dirinya sangat membutuhkan rahmat Allah. Ketika seseorang berhenti merasa cukup, saat itulah ia mulai belajar berserah dan menggantungkan harap sepenuhnya kepada-Nya.
Dalam perjalanan hidup, dosa sering hadir sebagai tamu yang tak diundang. Ia menjelma dalam berbagai bentuk: kelalaian yang berulang, kesalahan yang disesali, serta tekad memperbaiki diri yang kerap goyah di tengah jalan. Namun dosa tidak selalu menjadi penghalang menuju Allah. Dari sanalah sering tumbuh kesadaran terdalam bahwa manusia sangat membutuhkan ampunan-Nya. Hati yang tersentuh penyesalan justru lebih dekat kepada rahmat Allah dibanding jiwa yang merasa aman oleh kebaikan semu.
Allah SWT tidak menuntut kesempurnaan dari hamba-Nya. Yang Dia kehendaki adalah kejujuran dalam mengakui kesalahan serta kesungguhan untuk kembali. Terkadang, hanya satu kebaikan kecil yang benar-benar lahir dari hati—niat tulus untuk berubah, doa lirih dalam kesunyian, atau air mata penyesalan yang jatuh tanpa diketahui siapa pun. Namun kebaikan kecil itulah yang sering menjadi sebab turunnya cinta dan kasih sayang Allah.
Harapan kepada Allah merupakan tanda hidupnya iman. Ia bukan sekadar angan, melainkan ibadah batin yang menghubungkan kelemahan manusia dengan kekuasaan Ilahi. Dengan berharap, seorang hamba mengakui keterbatasannya sekaligus meyakini keluasan rahmat Tuhannya. Selama harapan itu terjaga, jalan untuk kembali kepada Allah tidak akan pernah tertutup, sejauh apa pun langkah pernah menyimpang.
Di tengah kehidupan modern yang kerap menilai manusia dari pencitraan, prestasi, dan pengakuan sosial, Islam menghadirkan nilai keikhlasan yang sunyi.
Allah tidak menilai apa yang tampak di mata manusia, melainkan kejujuran hati ketika seorang hamba berdiri di hadapan-Nya. Doa yang sederhana, namun lahir dari hati yang tunduk dan menyesal, jauh lebih bernilai daripada rangkaian kata indah yang kehilangan ketulusan.
Pada akhirnya, dosa tidak selalu menjauhkan hamba dari Tuhannya. Jika disadari dan disesali, dosa justru dapat menjadi jalan pulang yang paling jujur.
Selama seorang hamba masih mampu menundukkan hati, menumbuhkan harap, dan bertekad untuk kembali, rahmat Allah akan selalu lebih besar daripada seluruh kesalahan yang pernah ada. Dari sanalah perjalanan ruhani menemukan maknanya: pulang kepada Allah dengan hati yang berserah dan penuh harap.

