Riau | DerapHukum.click | Setiap tanggal 2 November, dunia memperingati International Day to End Impunity for Crimes against Journalists — momentum yang seharusnya menjadi cermin bagi bangsa ini untuk menilai sejauh mana kita menghormati profesi jurnalis sebagai penjaga nurani publik.
Namun di tengah peringatan tersebut, Indonesia kembali menatap luka lama yang belum sembuh. Kasus yang menimpa Diori Parulian Ambarita, jurnalis investigasi sekaligus Dewan Pengawas FWJ Indonesia, mencuat dari Kabupaten Bekasi dan kembali menggugah nurani.
Kisah Ambar bukan sekadar kisah seorang wartawan yang diserang dan diintimidasi. Ia adalah metafora tentang rapuhnya pelindung bagi kebenaran di negeri ini. Dalam tahun 2025 saja, ia dua kali menjadi korban kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistik — pertama di wilayah Babelan, lalu di Tambun Selatan — keduanya berkaitan dengan liputan investigatif yang menyentuh kepentingan tertentu. Peralatan liputannya dirampas, tubuhnya dilukai, dan jiwanya diteror.
Namun yang lebih menyakitkan bukan hanya luka fisik, melainkan diamnya hukum yang seharusnya melindungi. Laporan telah dibuat, bukti diserahkan, saksi tersedia, tetapi pelaku seolah tenggelam di balik kelambanan sistem. Proses hukum berjalan seperti kabut: ada bentuk, tetapi tak bisa digenggam.
Ketika Kebenaran Tak Lagi Aman
Kekerasan terhadap jurnalis bukan sekadar tindakan kriminal terhadap individu, melainkan serangan terhadap hak publik untuk mengetahui kebenaran. Ketika seorang jurnalis dipukul karena menulis, publik sesungguhnya kehilangan sepotong cahaya dari ruang gelap kekuasaan.
Jurnalisme hadir bukan untuk mencari musuh, melainkan untuk mencerdaskan masyarakat dan menjaga akuntabilitas kekuasaan. Namun di lapangan, tugas mulia itu kerap dibalas dengan intimidasi, ancaman, dan pembungkaman. Ironisnya, pelindung hukum sering kali lebih cepat menutup mata daripada membuka berkas.
Kasus di Bekasi menjadi cermin buram dari demokrasi yang berjalan pincang. Sebab demokrasi tanpa kebebasan pers hanyalah topeng prosedural — indah di atas kertas, tetapi kosong di hati masyarakatnya.
Impunitas: Luka yang Tak Kunjung Kering
Kita hidup di era ketika pelaku kekerasan terhadap jurnalis jarang benar-benar diadili. Tahun demi tahun, laporan kekerasan bermunculan, tetapi penyelesaian berhenti di meja administrasi. Impunity — bebas dari hukuman — telah menjelma menjadi kebiasaan birokratis yang mematikan moral keadilan.
Impunitas bukan hanya soal hukum yang tak tegas, tetapi juga soal nilai yang tak dijaga. Ia lahir ketika masyarakat terbiasa melihat kekerasan tanpa bereaksi, ketika aparat membiarkan ancaman terhadap wartawan dianggap sepele, dan ketika pejabat publik lupa bahwa kebebasan pers adalah pilar keempat demokrasi.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas mengatur bahwa jurnalis berhak mendapat perlindungan hukum saat menjalankan tugasnya. Namun dalam praktiknya, hukum sering berhenti di teks — tidak sampai pada tindakan nyata. Kita menyebut diri negara hukum, tetapi terlalu sering membiarkan hukum itu tidur di rak dokumen.
Solidaritas: Sisa Harapan yang Masih Menyala
Dalam situasi seperti ini, solidaritas antarjurnalis dan masyarakat sipil menjadi satu-satunya api yang masih menyala. FWJ Indonesia, AWIBB, FPII, PWRI, hingga berbagai LSM dan LBH telah bersuara lantang: keadilan untuk Ambar adalah keadilan untuk pers Indonesia.
Seruan itu bukan sekadar bentuk empati personal, tetapi gerakan moral untuk melawan kebisuan sistemik. Jika kita membiarkan satu kasus kekerasan berlalu tanpa hukuman, maka kita sedang membuka jalan bagi seribu kekerasan berikutnya.
Hukum dan Martabat Bangsa
Setiap negara diukur bukan dari kekuatannya menindas, melainkan dari kemampuannya melindungi yang lemah. Dalam konteks ini, jurnalis yang bekerja demi kebenaran sejatinya sedang menegakkan martabat bangsa. Mereka bukan musuh negara, melainkan cermin bagi negara itu sendiri.
Maka, tanggung jawab moral pemerintah dan aparat penegak hukum tidak bisa ditawar:
Menegakkan keadilan bagi jurnalis adalah menegakkan keadilan bagi bangsa.
Jika seorang pewarta bisa dipukul di depan hukum yang diam, maka siapa pun di negeri ini bisa menjadi korban berikutnya.
Refleksi dari Bekasi: Jangan Biarkan Keheningan Menjadi Kebiasaan
Kasus Ambar di Bekasi adalah ujian bagi kita semua — bagi penegak hukum, masyarakat, dan nurani kita sendiri. Apakah kita akan membiarkan keheningan menjadi budaya, atau berani bersuara menuntut kebenaran?
Peringatan International Day to End Impunity for Crimes against Journalists seharusnya tidak berhenti pada seremoni tahunan, tetapi menjadi pernyataan sikap kolektif: bahwa tidak ada berita yang seharga nyawa, dan tidak ada kebenaran yang boleh dikorbankan di altar kepentingan.
Selama keadilan belum ditegakkan, suara jurnalis tak boleh padam. Sebab di setiap pena yang berani menulis, tersimpan doa agar bangsa ini tetap jujur kepada dirinya sendiri.
Bekasi hanyalah titik kecil di peta, tetapi luka di sana adalah luka republik ini. Dan selama luka itu belum sembuh, tugas kita adalah menjaga nyala keadilan agar tidak padam — bagi Ambar, bagi pers, dan bagi kebenaran yang masih setia menunggu untuk didengarkan.
Dr. Nursalim, M.Pd.
Ketua IWO Indonesia Provinsi Kepulauan Riau

