- Advertisement -spot_img
HomeSejarahCinta dan Adat yang Tak Pernah Mendapatkan Restu

Cinta dan Adat yang Tak Pernah Mendapatkan Restu

- Advertisement -spot_img

KARAWANG | Deraphukum.click | Sebuah taman sepi di dekat desa, senja mulai turun, langit jingga memayungi pertemuan terakhir Pino dan Firda. Mereka duduk di bangku kayu tua di bawah pohon besar yang dulu menjadi saksi bisu segala kebahagiaan mereka. Firda tampak menggenggam erat sebuah surat yang diberikan oleh keluarganya.

Firda: (dengan suara bergetar, menatap surat itu dengan penuh perasaan) Pino… Ayah… Ayah meminta aku untuk berhenti. Dia tak mengizinkanku untuk melanjutkan hubungan ini.

Pino: (terkejut, mencoba mencari jawaban) Apa maksudmu? Firda, kita sudah melalui begitu banyak. Kita sudah berjanji untuk bersama, bahkan dunia seakan membenci kita, tapi kita tetap bertahan! Mengapa sekarang kamu menyerah?

Firda: (menahan air mata, suara mulai pecah) Aku tidak bisa menyerah, Pino. Tapi ini bukan soal kita saja. Adat… keluargaku… mereka tidak akan pernah bisa menerima kita. Kau tahu betul, Pino, kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Dunia yang tak pernah bisa bersatu, meskipun kita sudah saling mencintai.

Pino: (menggenggam tangan Firda erat, mencoba menahan emosinya) Firda, aku mencintaimu lebih dari apa pun. Bukankah itu yang seharusnya cukup? Kenapa kita harus menyerah pada sesuatu yang tak bisa kita ubah? Kita bisa melawan adat. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa memberikan kebahagiaan untukmu, meskipun dunia ini menentang kita.

Firda: (menarik tangannya perlahan, dengan suara penuh penyesalan) Pino… Ini bukan tentang kita lagi. Aku mencintaimu, tapi aku tak bisa mempertaruhkan keluarga yang telah mendidikku, adat yang sudah ada sejak dulu. Kalau aku memilihmu, maka aku harus kehilangan mereka, kehilangan segala sesuatu yang pernah aku percayai.

Pino: (suara bergetar, hampir menangis) Lalu bagaimana denganku? Aku ini apa bagi kamu, Firda? Apakah cinta kita tak cukup untukmu? Aku siap melawan apapun, asal aku bisa bersamamu.

Firda: (menangis, memegang dada) Kau lebih dari cukup untukku, Pino. Tapi aku tak bisa egois. Cinta kita mungkin tak bisa mengalahkan dunia yang kita hadapi. Mereka yang aku kasihi akan terluka jika aku memilihmu. Ini bukan soal ego, Pino. Ini soal semuanya yang telah aku bangun dengan mereka.

Pino: (berdiri, menatap Firda dengan mata yang penuh luka) Jadi ini akhirnya? Semua yang telah kita perjuangkan, janji-janji yang kita buat, akan berakhir begitu saja? Firda, apakah kita benar-benar tak ada jalan lain?

Firda: (berdiri, langkahnya berat) Pino… Aku ingin terus bersamamu, tapi aku tahu itu hanya akan membawa kita pada kehancuran. Kau akan menderita, aku juga. Aku tak ingin itu. Aku ingin melihatmu bahagia, walau itu tak bisa bersamaku.

Pino: (menatap Firda, menahan tangis yang hampir pecah) Aku tak tahu bagaimana hidup tanpa dirimu. Aku tak pernah menginginkan dunia yang memisahkan kita, Firda. Tapi jika cinta ini harus berakhir karena adat, aku tak tahu apakah aku masih bisa percaya pada apa pun lagi.

Firda: (suara pelan, mengusap air matanya) Cinta kita mungkin tak akan pernah mendapat restu di dunia ini, Pino. Tapi di hatiku, kau akan selalu ada. Di hati kita, cinta ini tak akan pernah mati.

Firda berbalik dan melangkah pergi. Pino tetap berdiri, memandang punggungnya yang menjauh, terasa seperti dunia runtuh di depannya. Angin senja membawa harum tubuh Firda yang kini semakin jauh. Surat dari keluarganya terjatuh dari tangan Firda, terbawa angin, berhamburan ke tanah. Pino menunduk, memungut surat itu dengan hati yang hancur.

Narasi:
Adat dan cinta, dua kekuatan yang tak pernah saling mengerti. Mereka berdua berjuang, meski dunia menentang. Pino dan Firda tahu, cinta mereka akan selalu hidup di dalam hati, meski dunia adat tak pernah mengizinkan mereka bersama. Namun, meskipun tak mendapat pengakuan dari orang-orang yang mereka cintai, mereka memilih untuk tetap berjalan bersama.

Mereka menikah dalam diam, tanpa restu orang tua Firda. Mereka hidup bersama, menciptakan keluarga kecil yang penuh cinta. Meskipun dunia adat tak mengakui mereka, Firda dan Pino tetap berusaha menjalani hidup mereka dengan penuh kebahagiaan. Mereka membesarkan anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang, dan anak-anak mereka kelak akan mengetahui bahwa cinta orang tua mereka adalah cinta yang tak pernah berhenti, meski tak mendapat pengakuan dunia.

Namun, ketika waktu berlalu, dan mereka semakin menua, adat yang dulu menentang mereka mulai berubah. Mereka diterima, meski terlambat. Cinta Firda dan Pino tetap terjaga hingga akhir hayat mereka.

Pino: (menatap Firda yang terbaring lemah di tempat tidur, dengan suara serak) Firda, aku tak pernah menyesal memilihmu. Meskipun dunia memisahkan kita, cinta kita selalu menyatukan kita.

Firda: (tersenyum lemah, dengan mata yang penuh kasih) Pino, kita tak pernah berhenti mencintai. Cinta ini tak akan pernah mati, meski maut memisahkan kita.

Pino: (berbisik, menahan tangis) Aku akan selalu mencintaimu, Firda. Sampai maut memisahkan kita.

Dengan pelukan terakhir, Pino dan Firda meninggalkan dunia ini, meninggalkan kisah cinta yang tak akan pernah terlupakan, meski dunia adat tak pernah sepenuhnya mengakui mereka. Namun, mereka tahu, cinta mereka abadi, dan itu cukup untuk mereka.

Dunia adat memang kejam, tapi di dalam hati mereka, cinta ini akan terus hidup… sampai maut memisahkan mereka.

Pengarang : Y.I.Nillan
Penulis : Nursalim Tinggi Turatea

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansLike
2,458FollowersFollow
61,453SubscribersSubscribe
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here