KARAWANG, JAWABARAT | Deraphukum.click | Regulasi tentang pengupahan merupakan hal Esensial dalam bidang ketenagakerjaan suatu negara, karena upah seringkali diartikan sebagai urat nadi bagi para pekerja.
Undang-Undang itu di rumuskan berdasarkan tiga faktor Filosofis, Sosiologis dan yuridis, bahwa lahirnya UU Ketenagakerjaan secara filosofis adalah untuk melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja. Untuk itu kebijakan yang tertuang dalam sejumlah pasal hukum/peraturan ketenagakerjaan memastikan bahwa hak-hak buruh terlindungi.
Dalam kerangka pengupahan, Indonesia telah memiliki seperangkat regulasi tentang pengupahan yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 27 ayat (2) dikatakan bahwa ; “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” kemudian dalam pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan bahwa “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Bahwa jika kita bicara tentang Upah baik secara Yuridis Normatif ataupun Yuridis Empiris yang menjadi dasarnya adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Karna upah itu tidak hanya bicara tentang teori dan Prosedural tapi juga bicara tentang realita kondisi pekerja di dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga upaya pengaturan dan penegakan hukum itu sendiri harus mewujudkan kesejahteraan pekerja yang berkeadilan secara substantif, sesuai dengan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 “tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak”
Itulah kenapa Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan pada tanggal 21 Maret 2017 telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor. 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah. Aturan ini mewajibkan setiap perusahaan atau badan usaha baik milik negara maupun milik swasta bahkan badan sosial yang mempekerjakan orang dengan imbalan upah maupun bentuk lain agar membuat dan melaksanakan Struktur & Skala Upah. (Pasal 1 ayat 6). Perusahaan harus menerapkan peraturan ini. Pasalnya ada sanksi yang harus diterima perusahaan jika tidak segera menerapkan peraturan ini. Salah satunya adalah pencabutan izin usaha.
Sesuai dengan regulasi bahwa Upah minimum hanya berlaku untuk pekerja yang lajang, lajang artinya adalah pekerja yang belum menikah atau belum mempunyai tanggungan, seperti para pekerja yang sudah menikah yang memiliki tanggungan istri dan juga anak, realitanya kebanyakan masyarakat atau pekerja di Indonesia walaupun berstatus sebagai lajang tetapi mempunyai tanggungan, contohnya jika pekerja lajang tersebut dalam keluarganya sudah tidak mempunyai orang tua, maka pekerja tersebut harus menanggung beban untuk kebutuhan hidup adiknya atau anggota keluarga lain yang masih belum bekerja atau dalam hal ini masih sekolah. Atau orang tua dari pekerja tersebut sudah tua dan sudah tidak bisa bekerja, dan pekerja tersebut menjadi tulang punggung dalam keluarganya.
Upah minimum implementasinya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja dengan tingkat upah yang diterima, selain mengakibatkan rendahnya daya beli, upah minimum pun saat ini dijadikan patokan pengupahan oleh pengusaha atau telah dijadikan upah maksimum. Upah minimum tidak lagi diberikan kepada pekerja/buruh dengan masa kerja di bawah satu tahun akan tetapi diberikan kepada semua pekerja/buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun tentunya ini membawa implikasi luas terhadap kinerja industri dan tenaga kerja secara keseluruhan. Padahal secara tegas disebutkan di dalam regulasi tentang pengupahan bahwa upah bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih ditentukan berdasar struktur dan skala upah (SSU). Harus ada pengawasan yang Ekstra bagi Perusahaan / pengusaha yang belum menjalankan SSU di perusahaannya sehingga dapat sanksi tegas dari pihak berwenang dalam hal ini Pemerintah daerah dalam hal pengawasan pelaksanaannya.
Ketidak mampuan upah minimum untuk memenuhi kebutuhan hidup layak menyiratkan beberapa hal yang secara langsung menyentuh kepentingan pekerja, pengusaha dan pemerintah sekaligus, dari pihak pekerja/buruh rendahnya daya beli upah minimum terhadap kebutuhan hidup menyebabkan pada realitanya tidak dapat menutupi kebutuhan hidup para pekerja/buruh, oleh karena itu para pekerja /buruh melakukan beberapa strategi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, antara lain dengan melakukan pekerjaan sampingan, menggabungkan upah yang diterimanya dengan pendapatan anggota keluarga lainnya sebagai pendapatan keluarga, melakukan pembelian barang-barang dengan sistem kredit, dan melakukan penghematan dengan mengurangi kualitas dan kuantitas barang yang di konsumsi, atau tidak membelinya sama sekali, berhemat, lingkaran hutang yang tak putus.
Tentunya hal itu akan berdampak pada kinerja dan produktifitas pekerja/buruh. Kinerja dan produktivitas yang rendah menjadi kepentingan langsung bagi pengusaha karena akan mempengaruhi kinerja dan produktivitas Perusahaan yang akhirnya akan mempengaruhi daya saing Perusahaan, akibatnya adalah customer akan berpikir kembali untuk melakukan kerjasama atau bisnis dengan Perusahaan tersebut karena produkttivitas dan kualitasnya menurun.
(Lukmannul hakim)