MALUKU, | Deraphukum.click | Perjalananku dari Jakarta menuju Ambon, lalu menyeberang ke Kota Masohi, berlanjut ke Kecamatan Pasanea, hingga akhirnya menapakkan kaki di Desa Gale Gale, Pulau Seram Utara Barat, bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan hati, perjalanan mencari jejak nenek moyang yang telah lama hilang dalam riuhnya kota.
Di desa kecil itu, aku disambut dengan senyuman yang tak dibuat-buat. Orang-orangnya ramah, penuh kehangatan, seolah aku bukanlah seorang asing yang baru pertama kali datang. Dalam sekejap, aku merasa bukan sekadar tamu, melainkan bagian dari mereka—bagian dari tanah ini, bagian dari sejarah yang telah lama menanti untuk aku temukan kembali.
Hari-hariku di Gale Gale berlalu seperti mimpi. Aku makan bersama mereka, duduk bersila di atas lantai kayu, mencicipi hidangan yang penuh dengan cinta. Aku ikut bermain bersama anak-anak kecil yang polos dan lugu, yang tawanya mengisi relung hatiku yang telah lama kosong oleh kesibukan dunia. Aku berbincang dengan para tetua, mendengar kisah masa lalu yang tertinggal dalam jejak tanah, dalam desir angin yang menyapu pepohonan.
Di sini, tidak ada sekat. Tidak ada perbedaan. Tidak ada batas antara aku dan mereka. Kata-kata yang paling indah yang selalu terdengar adalah “Samua torang basudara.”
Namun, kebahagiaan itu datang bersama kesedihan yang menusuk. Aku melihat anak-anak kecil yang semangatnya membara untuk belajar, meski mereka harus menempuh perjalanan panjang setiap hari dengan fasilitas yang terbatas. Aku melihat guru-guru yang mengajar dengan sepenuh hati, walau gaji mereka tak sebanding dengan pengorbanan yang mereka berikan. Ada ketulusan yang begitu nyata di desa ini—ketulusan yang mungkin sulit ditemukan di tempat lain.
Sepuluh hari di Gale Gale terasa begitu singkat, tetapi meninggalkan bekas yang begitu dalam. Ketika saatnya tiba untuk pergi, hatiku seperti terbelah. Setiap langkah yang kuambil menjauh dari desa ini terasa berat. Aku ingin kembali, ingin tinggal lebih lama, ingin tetap menjadi bagian dari mereka.
Saat perahu perlahan menjauh dari dermaga kecil itu, aku melihat mereka melambaikan tangan, tersenyum, meskipun aku tahu di balik senyum itu ada kesedihan yang sama dengan yang aku rasakan.
Aku meninggalkan Gale Gale, tetapi separuh jiwaku tertinggal di sana. Aku membawa pulang kenangan, membawa pulang pelajaran hidup, membawa pulang rasa rindu yang mungkin tak akan pernah bisa terobati.
Selamat tinggal, Gale Gale.
Kampung halaman yang kutemukan kembali, tetapi harus kutinggalkan lagi.
Seribu kenangan yang terukir di sana akan selalu hidup dalam hatiku, selamanya.
(Y.I.N)