ARTIKEL SEDIH | Deraphukum.click | Siti adalah seorang janda yang hidup dalam kesederhanaan. Suaminya meninggal dunia karena sakit, meninggalkannya dengan dua orang anak yang masih kecil. Dengan tangis yang belum kering, ia harus menghadapi kenyataan bahwa hidup tidak memberi ruang untuk bersedih terlalu lama. Anak-anaknya butuh makan, butuh sekolah, dan butuh kasih sayang.
Setiap pagi, Siti bangun lebih awal, menyiapkan sarapan seadanya, lalu pergi bekerja sebagai buruh cuci dan pelayan warung makan. Tangan kasarnya menjadi saksi bagaimana ia berjuang tanpa mengenal lelah. Ia sering pulang larut malam dengan tubuh lelah, tapi tak sekalipun ia mengeluh. Baginya, melihat anak-anaknya bisa tidur nyenyak sudah cukup menjadi alasan untuk bertahan.
Namun, hidup tetaplah penuh ujian. Siti sering dihina dan diremehkan oleh orang-orang di sekitarnya. Sebagai seorang janda, tak jarang ia menjadi bahan gunjingan. Ada yang mencemoohnya, ada pula yang mencoba memanfaatkan kelemahannya. Tapi Siti tetap teguh. Ia menutup hatinya, yakin bahwa ia hanya butuh dirinya sendiri untuk bertahan.
Sampai suatu hari, ia bertemu dengan Fajar, seorang pria sederhana yang bekerja sebagai sopir angkot. Fajar berbeda dari laki-laki lain yang pernah Siti temui. Ia tidak menghakimi, tidak menaruh iba berlebihan, dan yang terpenting, ia menerima Siti apa adanya. Dengan perlahan, dinding yang Siti bangun runtuh. Ia kembali percaya bahwa ia bisa bahagia.
Fajar tidak hanya mencintai Siti, tetapi juga kedua anaknya. Ia sering mengantar mereka sekolah, membelikan jajanan kecil, dan menghabiskan waktu bersama seperti seorang ayah sejati. Senyuman Siti yang dulu jarang muncul kini mulai kembali menghiasi wajahnya. Ia merasa bahwa hidup memberinya kesempatan kedua untuk merasakan kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu malam, saat Fajar pulang dari pekerjaannya, sebuah truk kehilangan kendali dan menabrak motornya. Fajar meninggal di tempat. Kabar itu bagaikan petir yang menyambar hati Siti. Ia berlari ke rumah sakit dengan harapan masih bisa melihatnya bernapas, tetapi yang ia temui hanyalah tubuh kaku yang terbujur kedinginan.
Di pemakaman, Siti menangis tersedu, memeluk gundukan tanah merah yang masih basah. “Kenapa, Bang? Kenapa harus secepat ini?” isaknya. Hatinya kembali hancur, lebih hancur dari sebelumnya.
Di depan makam Fajar, Siti bersumpah, “Aku tak akan lagi membuka hatiku untuk siapa pun. Cukup sekali aku kehilangan, cukup sekali aku merasa dihancurkan oleh takdir.”
Sejak hari itu, Siti kembali menutup dirinya. Ia hanya fokus pada anak-anaknya, membesarkan mereka dengan cinta dan air mata. Namun, di dalam hatinya, luka itu tetap ada—tak pernah benar-benar sembuh, hanya terkubur di dalam keheningan. (Y.I.N)