KARAWANG, JAWA BARAT | Deraphukum.click | Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Wartawan Online Indonesia (DPD IWOI) Kabupaten Karawang secara resmi melayangkan surat permohonan audiensi kepada Polres dan Kejaksaan Negeri Karawang. Surat bernomor: 13.06.001/DPDIWOI-KAPOLRES/VI/2025 tertanggal 13 Juni 2025 tersebut diajukan untuk mengklarifikasi penanganan kasus dugaan pencemaran nama baik yang menyeret Yusup Saputra sebagai terdakwa.
Ketua DPD IWOI Karawang, Syuhada Wisastra, A.Md, CHRM, menjelaskan bahwa permohonan audiensi ini berangkat dari keprihatinan organisasi terhadap proses hukum yang melibatkan Yusup Saputra—narasumber dalam sebuah pemberitaan media online—yang kini didudukkan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Karawang. Kasus ini bermula dari pernyataan Yusup yang mengkritik pengelolaan dana CSR oleh BUMDes Pinayungan, Telukjambe Timur, yang kemudian dianggap sebagai fitnah oleh pihak pelapor.
Menurut Syuhada, posisi dan fungsi pers telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menegaskan bahwa pers memiliki peran untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
“Kami tidak bermaksud mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. Namun, kami menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam penanganan perkara ini, khususnya berkaitan dengan posisi hukum narasumber dan tidak dilibatkannya Dewan Pers sebagaimana diatur dalam nota kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers,” ujar Syuhada, Jumat (13/6/2025).
Ia menambahkan, permintaan audiensi ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan langsung dari aparat penegak hukum serta memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan koridor undang-undang yang berlaku, khususnya terkait perkara yang menyentuh wilayah kerja jurnalistik.
Sementara itu, Ade Kosasih, SE, selaku Ketua Bidang SDM dan Kompetensi Wartawan DPD IWOI Karawang menegaskan bahwa pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk meminta second opinion atas penanganan kasus tersebut.
“Objek perkaranya adalah pernyataan yang dimuat di media massa. Namun, yang dijadikan tersangka dan kini terdakwa adalah narasumber, bukan wartawan atau media yang mempublikasikan. Ini menjadi anomali dan menimbulkan kekhawatiran terhadap kebebasan pers,” ujar Ade.
Ade juga menyoroti tidak dilibatkannya Dewan Pers dalam proses penyelidikan dan penuntutan, yang menurutnya bertentangan dengan prosedur hukum sebagaimana diatur dalam MoU antara Polri dan Dewan Pers terkait penanganan sengketa pers.
“Kasus ini kami anggap sebagai preseden penting, bahkan bisa menjadi yurisprudensi dalam penegakan hukum terkait produk jurnalistik di Indonesia. Maka dari itu, kami memandang perlu adanya klarifikasi resmi dari Polres dan Kejaksaan, sekaligus pandangan dari Dewan Pers,” tambahnya.
DPD IWOI Karawang menegaskan bahwa mereka tidak ingin isu ini berkembang menjadi informasi liar dan simpang siur. Oleh sebab itu, organisasi memilih jalur resmi dan terbuka untuk memastikan keberlangsungan demokrasi dan kebebasan pers tetap terjaga dalam kerangka hukum yang adil dan proporsional.
“Daripada informasi berkembang tidak jelas dan menjadi bola liar, lebih baik kami minta penjelasan langsung dari pihak-pihak terkait,” pungkas Ade Kosasih.
DPD IWOI Karawang berharap dapat menjadi garda terdepan dalam membuka perkara ini secara terang benderang, agar tidak terjadi kesalahpahaman maupun salah penindakan terhadap pihak-pihak yang terlibat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa profesi jurnalis tetap dihargai dan dijunjung tinggi sebagai bagian penting dari demokrasi dan keterbukaan informasi publik di Indonesia.(Red)