Karawang,Jawa Barat | DerapHukum.Click |
Di tengah debu dan kobaran api perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan, berdirilah seorang pria bertubuh kecil namun berhati baja. Ia bukan bangsawan, bukan pemimpin partai besar, namun namanya membuat tentara Belanda gemetar. Dialah Kapten Lukas Kustaryo, sang “Begundal Karawang”, sosok gerilyawan tangguh yang dicari-cari oleh musuh hingga kepalanya dihargai sepuluh gulden.
Dilahirkan di tanah subur Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pada tahun 1920, Lukas muda sudah terbiasa hidup dalam tekanan. Ketika Jepang menginjakkan kaki di bumi pertiwi, Lukas bergabung dengan tentara bentukan Jepang, PETA (Pembela Tanah Air), sebagai batu loncatan menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.
Namun gemuruh perjuangan tak berhenti ketika proklamasi dikumandangkan. Justru setelah kemerdekaan, bangsa ini menghadapi ujian baru: Agresi Militer Belanda I. Tanah Karawang, Bekasi, dan Rengasdengklok menjadi saksi betapa heroik dan lihainya Lukas memimpin pasukannya dalam perang gerilya. Ia tak segan melancarkan serangan kilat di malam hari, menyusup ke garis pertahanan musuh, bahkan melucuti senjata tentara Belanda satu per satu.
Karena gerilya-gerilyanya yang lihai dan seringkali mendadak, Belanda menjulukinya sebagai “hantu malam dari Karawang”. Licin seperti belut, sulit ditangkap, dan penuh taktik yang menguras tenaga dan mental musuh. Nama Lukas menjadi mimpi buruk di benak para perwira KNIL.
Kebrutalan tentara Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat Indonesia mencapai puncaknya dalam peristiwa Pembantaian Rawagede tahun 1947. Mereka datang untuk mencari Lukas Kustaryo yang diduga bersembunyi di sana. Karena frustrasi tak menemukan Lukas, pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling membantai 431 warga sipil tak bersenjata. Tapi meski berdarah, semangat perjuangan rakyat tak padam. Lukas justru semakin mengobarkan semangat perlawanan dari hutan-hutan dan sawah-sawah yang ia kenal seperti punggung tangannya.
Setelah agresi, Lukas bergabung dalam struktur militer resmi Republik Indonesia. Ia menjadi Komandan Kompi dalam Batalyon Sudarsono, bagian dari Kompi Siliwangi Karawang-Bekasi, yang terkenal disiplin dan militan. Ia juga pernah berada di bawah Brigade III Kian Santang, pasukan tempur elit yang digawangi Letkol Sidik Brotoatmodjo.
Sosoknya dikenal sederhana. Tak pernah mencari pujian atau jabatan tinggi. Ia hanya ingin melihat tanah airnya bebas dari cengkeraman penjajah. Satu demi satu pasukan kolonial ditundukkannya, bukan dengan kekuatan besar, melainkan dengan kecerdikan dan keberanian.
Lukas Kustaryo menghabiskan sisa hidupnya di Cipanas, Jawa Barat. Pada tanggal 8 Juni 1997, ia menutup usia di umur 76 tahun. Tidak banyak yang mengenangnya dengan upacara megah atau tugu peringatan tinggi. Namun di hati para pejuang dan rakyat Karawang-Bekasi, Lukas si Begundal Karawang akan selalu menjadi legenda.
(Davist)