- Advertisement -spot_img
HomeEducationTegas, Adil, dan Bermartabat: Refleksi atas Kebijakan di Sekolah dan Pesantren

Tegas, Adil, dan Bermartabat: Refleksi atas Kebijakan di Sekolah dan Pesantren

- Advertisement -spot_img

BATAM-KEPRI | Deraphukum.click | Oleh: Nursalim Tinggi Turatea, Pengamat dan Pemerhati Pendidikan Indonesia

“Ketika berbicara tentang pendidikan, baik dalam konteks sekolah formal maupun pesantren, kita tidak hanya berbicara soal transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter, moral, dan akhlak peserta didik. Namun, persoalan muncul ketika ketegasan dalam menerapkan aturan dianggap sebagai bentuk dominasi yang sering kali melampaui batas. Hal ini memunculkan diskursus penting: sejauh mana lembaga pendidikan dapat bersikap tegas tanpa terjebak dalam tindakan semena-mena?

Pendidikan: Antara Otonomi dan Regulasi

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berada dalam kerangka regulasi yang ketat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi payung hukum yang menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Prinsip nondiskriminasi, keadilan, dan akuntabilitas menjadi landasan utama yang harus dijalankan oleh setiap sekolah.

Namun, realitas di lapangan sering menunjukkan bahwa beberapa kebijakan sekolah justru melanggar prinsip tersebut. Sebagai contoh, kewajiban siswa membeli buku atau modul dari sekolah dengan harga yang tidak wajar merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang melanggar Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya mencakup kebutuhan siswa sering kali tidak dikelola secara transparan, sehingga memberatkan orang tua.

Hal serupa juga terjadi di pesantren. UU Nomor 18 Tahun 2019 memberikan otonomi kepada pesantren untuk mengelola kurikulum dan tata tertib berbasis nilai-nilai keagamaan. Otonomi ini, meski penting untuk menjaga keunikan pendidikan pesantren, tetap berada di bawah kendali hukum negara. Pesantren tidak dapat menerapkan aturan atau sanksi yang bertentangan dengan UU Perlindungan Anak (UU Nomor 35 Tahun 2014), yang melarang segala bentuk kekerasan fisik maupun psikologis terhadap anak.

Ketegasan Bukan Semena-mena

Ketegasan dalam dunia pendidikan sebenarnya memiliki tujuan mulia: menanamkan disiplin, tanggung jawab, dan kepatuhan pada aturan. Namun, ketegasan ini akan kehilangan esensinya jika dijalankan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kasus yang baru-baru ini mencuat di beberapa pesantren menjadi bukti nyata. Sanksi fisik yang diberikan kepada santri atas pelanggaran kecil telah memicu trauma mendalam dan kecaman luas dari masyarakat. Ketegasan yang seharusnya mendidik berubah menjadi kekerasan yang melukai, baik secara fisik maupun psikologis.

Sekolah pun tidak luput dari persoalan. Kebijakan yang tidak transparan, seperti pungutan liar atau diskriminasi terhadap siswa miskin, mencerminkan ketidaktepatan dalam menjalankan aturan. Praktik ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak tujuan pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jalan Tengah: Mengedepankan Prinsip Adil dan Bermartabat

Dalam konteks pendidikan, ketegasan harus selalu dibingkai oleh tiga prinsip utama: keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

1. Keadilan: Aturan harus diterapkan secara merata tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau budaya siswa dan santri. Sanksi yang diberikan juga harus proporsional dan mendidik, bukan menghukum.

2. Transparansi: Sekolah dan pesantren harus membuka ruang dialog dengan siswa, santri, dan orang tua sebelum menetapkan aturan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dipahami dan diterima secara kolektif.

3. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia: Ketegasan dalam mendidik tidak boleh melibatkan tindakan yang merendahkan martabat peserta didik. Pendidikan yang bermartabat adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek.

Peran Masyarakat dan Pemerintah

Masyarakat memiliki peran penting dalam mengawasi dan memastikan bahwa lembaga pendidikan menjalankan fungsinya dengan benar. Jika ditemukan pelanggaran, orang tua dan wali santri harus berani mengadukan hal tersebut ke pihak berwenang, seperti Dinas Pendidikan, Kementerian Agama, atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Di sisi lain, pemerintah harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap sekolah dan pesantren. Evaluasi berkala, pelatihan bagi pendidik, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran menjadi langkah penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil dan bermartabat.

Penutup

Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi bangsa. Sekolah dan pesantren, sebagai pilar utama dalam sistem pendidikan Indonesia, harus mampu menjadi teladan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan akuntabilitas. Ketegasan dalam mendidik adalah keharusan, tetapi ketegasan ini harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Sebagai pengamat pendidikan, saya meyakini bahwa sinergi antara lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemerintah adalah kunci untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak hanya tegas, tetapi juga adil dan bermartabat. Dengan demikian, pendidikan dapat benar-benar menjadi jalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansLike
2,458FollowersFollow
61,453SubscribersSubscribe
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here