NUSA TENGGARA TIMUR | Deraphukum.click | Masyarakat Adat Amanuban menolak penetapan hutan produksi tetap Laob Tumbesi oleh Kementerian Kehutanan atas 116 desa yang menyasar tanah, rumah-rumahan dan kebun rakyat. Tahun 2023 sebanyak 45 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Terdapat 42 desa di Amanuban yang disasar oleh kehutanan dengan memasang pilar-pilar beton.
Masyarakat Amanuban mendatangi sonaf Amanuban di Niki – niki untuk mengadu atas tindakan kementerian dan melalui lembaga adat Amanuban mulai menyuarakan hal tersebut.
“Semuanya Tanah rakyat, permukiman, kebun dan belukar diklaim sebagai kawasan Hutan Produksi Tetap Laob Tumbesi dan diklaim sebagai aset negara.
Dalam upaya kami untuk melihat persoalan ini kami sudah bersurat ke BPKH propinsi NTT, kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ke Ombudsman Republik Indonesia,” kata Pina Ope Nope kepada faktahukumntt.com,
Ia juga menyebut bahwa hasil investigasi pihak ombudsman yang dokumennya sudah diserahkan ke DPRD (11/12/2024) adalah sebagai berikut :
1. Bahwa klaim kehutanan itu ada 15 titik hutan yang kemudian mereka sebut sebagai RTK yaitu Titik hutan di Laob maupun di Amanuban, RTK ini adalah hutan adat yang salinan RTK ini ditulis dalam bahasa Belanda dengan mencantumkan nama Zelbestuur Amanuban (PaE Nope) dan Zelbestuur Mollo (Tua Sonbai) dengan si pencatat hukum adat ini yaitu F.G LATUPERISAS
2. RTK ini sebenarnya bukan hutan Belanda tapi hutan adat tapi ditulis dalam bahasa Belanda sebab pada tahun 1920 ada usulan dari guru besar Universitas Leiden Belanda bernama Van Hollen Hoven untuk melestarikan Hukum Adat sehingga pemerintah Hindia Belanda menelurkan program yang disebut Indische Strachterling yaitu mengkodefikasikan hukum adat yang tidak tertulis menjadi hukum tertulis, Itulah sebabnya kemudian pentapan hutan adat oleh raja Mollo dan Raja Amanuban sejak tahun 1920 s.d tahun 1940 menggunakan bahasa Belanda. Ini jelas kemudian ketika diterjemahkan disebut secara jelas itu adalah hutan adat kerajaan, Kementrian Kehutanan MEMANIPULASI DOKUMEN INI seolah itu hutan milik penjajah Belanda dan ketika Soekarno mendirikan Republik Indonesia maka hutan ini menjadi milik Republik, Itu kekeliruan,
3. Pemahaman pihak Kementerian Kehutanan tentang hukum Hindia Belanda dan hukum adat tidak ada bahkan tidak bisa membedakan pemerintah Zelbestuur Amanuban dengan nonzelfbestuur yang menganut asas Domein Verklaring… Mereka tidak mampu membedakan
4. Lalu pada tahun 1983 atas saran pemerintah pusat kepada pemerintah DATI II TTS agar ada pengkhususan 30% wilayah sebagai kawasan hutan yang disebut Padu serasi supaya pemerintah pusat bisa memberikan status kabupaten otonom. Hal ini mendorong Bupati TTS Piet A. Tallo, SH untuk menggabungkan 15 titik hutan ini menjadi satu hamparan kawasan hutan. Hal ini mengakibatkan tanah rakyat yang berada ada diantara maupun di sekitar 15 titik hutan (Kio) itu menjadi suatu bentuk Kawasan hutan produksi Tetap Laob Tumbesi. Tindakan Bupati ini dilakukan tanpa diketahui oleh masyarakat yang tanahnya diserahkan sebagi kawasan hutan. Itu diakui sendiri oleh pihak kehutanan yang sudah dirangkum dalam surat Ombudsman RI kepada kami di Sonaf Amanuban.
5. Berjalannya waktu pemerintah kabupaten TTS mau membebaskan sebagian kecil tanah rakyat ini dan mengusulkan kepada kementerian kehutanan dan kementerian setuju dengan cukup mengkapling tanah bagi rakyat berukuran 50 x 50 meter dan hanya di pinggir jalan. Sedangkan yang tidak di pinggir jalan walupun sudah didiami masyarakat Amanuban turun temurun menjadi milik negara Republik Indonesia. Rakyat hanya memperoleh Hak pakai untuk jangka waktu 35 tahun. Setelah itu harus keluar.
6. Bahwa surat kami yang kami kirimkan ke kementerian sudah menjelaskan terkait hukum Hindia Belanda dan hukum adat Amanuban, sejarah lengkap dan pihak kementerian menjawab tapi tidak menyentuh substansi surat hanya berdalih tentang UU cipta kerja dan UU kehutanan.
7. Bahwa berdasarkan keputusan MK tahun 2011 memutuskan bahwa Penetapan batas kawasan Hutan harus dengan sepengetahuan stakeholder atau masyarakat sehingga jelas bahwa SK MENTERI KEHUTANAN tentang kawasan hutan produksi Tetap Laob Tumbesi sebagaimana tersebut diatas harus batal demi hukum
8. Terkait hal ini, maka pihak kehutanan melempar tanggung jawab kembali ke bupati untuk menerbitkan Perda atau sekurang-kurangnya perbub terkait pengakuan hak adat dan dalam pertemuan kami dengan Bupati TTS 25 Nopember lalu Bupati hanya bersedia bersurat ke menteri sebab Bupati yang sekarang ini hanya penjabat bukan Bupati definitif.
9. Dokumen2 yang kami serahkan sangat lengkap sekalian sebagai informasi yang sangat penting. Kalau saya keliru maka mohon dimaafkan.
10. Dalam pertemuan dengan kepala BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) propinsi NTT pak Anwar beliau menyebutkan bahwa SK MENTERI KEHUTANAN tidak akan bisa dicabut, sedangkan ini adalah potensi konflik sampai kapanpun sepanjang Republik Indonesia ini masih ada. Salah satu contoh pada tahun 1993 masyarakat di desa Nusa kecamatan Amanuban Barat sudah meminta untuk dihapus dan secara adat maupun ritual, gubenur NTT Piet A Tallo SH memerintahkan membunuh satu ekor sapi dan menanam kepala sapi ini dalam tanah sambil menyatakan di depan masyarakat bahwa sudah selesai. Masyarakat lalu mencabut patok2 dan pagar kawat. Ternyata 30 tahun kemudian (2023) kementerian Kehutanan turun kembali ke lokasi yang sama dan menyatakan kepada masyarakat di desa nusa bahwa tanah yang masyarakat tinggal itu adalah kawasan Hutan Produksi Tetap Laob Tumbesi. “Kalau memang kementerian Kehutanan ngotot mau ambil ini Tanah -tanah maka dari Sonaf Amanuban meminta agar pihak Kementerian Kehutanan menggugat secara perdata kepada masyarakat yang ada dalam tanah2 yang disebut sebagai kawasan Hutan Produksi Tetap Laob Tumbesi tapi dilarang menggunakan aparat Kepolisian dan TNI seperti yang terjadi tahun 2020-2022 di Pubabu (BESIPAE),” Tutupnya. (Ded_Hanz)