Badung, | DerapHukum.Click | Seorang nenek berusia 93 tahun ditatih oleh petugas ke meja hijau pengadilan karena terjerat sebuah kasus.
Nenek 93 tahun itu dituding terlibat dalam kasus hukum pemalsuan dokumen sertifikat tanah.
Kasus dugaan pemalsuan dokumen silsilah keluarga menyeret seorang nenek berusia 93 tahun ke meja hijau.
Peristiwa tersebut menjadi viral di media sosial.
Pasalnya dalam usia yang sudah sangat renta, nenek tersebut terpaksa menjalani kasus hukum.
Diketahui nenek yang Bernama Ni Nyoman Rejan merupakan warga Lingkungan Pesalakan, Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
Ia harus menghadapi proses hukum bersama 16 terdakwa lainnya dalam perkara yang saat ini ditangani oleh Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.
Sidang pembacaan dakwaan terhadap seluruh terdakwa dilangsungkan pada Kamis, 15 Mei 2025.
Dalam video yang diunggah oleh akun TikTok @letangtemba6 nenek tersebut hadir di ruang sidang mengenakan busana adat Bali berwarna putih.
Ia tampak berjalan menuju pengadilan dengan dibantu oleh seorang petugas, karena ia berjalan tertatih-tatih dan tampak lemah saat memasuki ruang sidang.
Hal ini membuat banyak masyarakat merasa prihatin.
“Mohon doa dari Pemirsa agar Nenek Ni Nyoman Reja (92 tahun) sehat dan tabah dalam menjalankan proses hukum dan semoga mendapatkan keadilan di Pengadilan Negeri Denpasar” tulis caption unggahan tersebut, Minggu (18/5/2025).
Unggahan ini memicu komentar dari para netizen di media sosial.
“Sabar ya nek, Tuhan tidak buta, dan karma tidak pernah salah alamat,” tulis akun @ronnie_sianturi
Dalam persidangan tersebut, Ni Nyoman Reja tampak duduk di kursi terdakwa bersama 16 orang lainnya yang juga diduga terlibat dalam kasus serupa.
Menurut informasi yang dihimpun, adapun para terdakwa lainnya yakni I Made Dharma (64), I Ketut Sukadana (58), I Made Nelson (56), Ni Wayan Suweni (55), I Ketut Suardana (51), I Made Mariana (54), I Wayan Sudartha (57), I Wayan Arjana (48), I Ketut Alit Jenata (50), I Gede Wahyudi (30), I Nyoman Astawa (55), I Made Alit Saputra (45), I Made Putra Wiryana (22), I Nyoman Sumertha (63), I Ketut Senta (78), dan I Made Atmaja (61).
Dalam pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Dewa Gede Anom Rai, disebutkan bahwa para terdakwa diduga kuat telah menyusun dokumen palsu berupa silsilah keluarga yang mengatasnamakan garis keturunan keluarga I Riyeg.
Tujuan dari pemalsuan tersebut diduga untuk mengklaim hak kepemilikan atas tanah warisan keluarga.
Disebutkan bahwa pada 14 Mei 2021, para terdakwa menyusun silsilah yang mencantumkan bahwa I Riyeg atau I Wayan Riyeg adalah anak dari I Made Gombloh.
Dalam narasi silsilah yang dipalsukan, I Made Gombloh dikisahkan menikah secara nyentana dengan seorang perempuan bernama Ni Rumpeng, anak dari I Wayan Selungkih.
Dari pernikahan tersebut, disebutkan lahir seorang anak bernama I Wayan Sadera, yang kemudian memiliki keturunan.
Informasi yang dimuat dalam dokumen tersebut bersumber dari keterangan lisan para orang tua serta pihak yang dianggap memahami sejarah keluarga.
Bahkan dalam dokumen itu disebutkan adanya tiga anak laki-laki dari leluhur yang tidak dikenal, yaitu I Wayan Selungkih, I Made Gombloh, dan I Nyoman Lisir.
Dalam dokumen itu dinyatakan bahwa I Riyeg menikah secara nyentana dengan Ni Wayan Rumpeng dan memiliki tiga anak yakni I Wayan Sadera, Ni Made Sepren, dan Ni Bondol.
Sayangnya, informasi dalam dokumen tersebut terbukti bertentangan dengan data resmi yang menyatakan bahwa I Riyeg sebenarnya merupakan anak dari Jro Made Lusuh dan menikah secara purusa dengan seorang perempuan bernama Dong Pranda.
Dari pernikahan tersebut lahir tiga anak: I Wayan Sadera, Ni Sepren, dan Ni Bondol.
Kebenaran silsilah keluarga asli didukung oleh sejumlah dokumen resmi, termasuk surat keterangan bertanggal 15 November 1985 dan surat resmi Nomor 30/K.d/X/1979 tertanggal 29 September 1979.
Menurut JPU, pemalsuan tersebut bertujuan untuk mengubah asal-usul garis keturunan I Riyeg secara tidak sah sehingga dapat memengaruhi hak waris.
Usai sidang, Ni Nyoman Reja yang sudah lanjut usia terlihat harus dibantu oleh anggota keluarganya untuk keluar dari ruang persidangan.
Kondisinya yang sudah renta membuatnya harus dibopong, memperlihatkan keterbatasan fisik yang dihadapinya di tengah proses hukum yang sedang berjalan.
(Erik FDT)