KARAWANG | Deraphukum.click | Pagi di Mako selalu diawali dengan gelak tawa dan obrolan ringan. Udara segar menyusup di antara aroma kopi yang mengepul dari cangkir-cangkir para anggota komunitas. Namun, pagi itu berbeda. Bang Hadi, yang biasanya menjadi pusat keceriaan, tampak duduk di pojok meja, menatap kosong ke arah cangkirnya yang belum tersentuh.
“Bang Hadi, ngopi dong. Kok melamun?” tanya seorang teman mencoba memecah suasana.
Hadi hanya tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. Tatapannya masih tertuju pada cairan hitam pekat yang diam di dalam cangkir, seolah-olah di sana ada cerita panjang yang sedang ia baca. Tak lama, ia mendesah pelan.
“Kopi ini bikin aku ingat ayah,” ucapnya, nyaris seperti gumaman.
Semua yang mendengarnya terdiam sejenak. Mereka tahu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kopi pagi ini.
Hadi adalah sosok yang dikenal ceria dan penuh semangat. Namun, sedikit yang tahu bahwa di balik tawa dan candanya, ada ruang kosong dalam hatinya yang terus ia isi dengan kenangan. Ayahnya, sosok yang dulu menjadi pilar keluarga, telah lama pergi meninggalkan dunia ini. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, rasa rindu itu tak pernah benar-benar hilang.
“Ayahku dulu suka banget kopi hitam. Setiap pagi, sebelum kami semua bangun, dia sudah duduk di beranda dengan cangkir kopinya,” Hadi mulai bercerita. Suaranya tenang, tapi penuh dengan kehangatan. “Aku kecil waktu itu, mungkin kelas dua SD. Aku suka duduk di sampingnya sambil diam-diam mencium aroma kopinya. Aku pikir, saat itu, kopi adalah bau pagi hari.”
Hadi tersenyum kecil, mengingat masa kecilnya yang sederhana. Ayahnya adalah seorang petani yang bekerja keras dari pagi hingga petang. Namun, tak peduli seberapa lelahnya, pagi adalah momen yang selalu ia dedikasikan untuk dirinya sendiri. Cangkir kopi itu adalah jeda kecil sebelum ia menghadapi hari yang berat.
“Ayah itu orangnya keras,” lanjut Hadi. “Tapi hatinya lembut. Dia nggak pernah banyak bicara, tapi setiap gerakannya seperti bicara banyak hal. Waktu aku kecil, aku sering takut sama dia. Tapi semakin besar, aku sadar, semua yang dia lakukan, meski kelihatan keras, adalah untuk kami, anak-anaknya.”
Teman-teman Hadi mendengarkan dengan seksama. Di antara suara angin yang lembut dan denting sendok di cangkir, cerita Hadi mengalir seperti sungai, membawa semua yang mendengarnya ke masa lalu yang penuh dengan kehangatan seorang ayah.
“Ayah pernah bilang ke aku, ‘Jadi laki-laki itu harus kuat. Bukan kuat badannya, tapi kuat hatinya. Jangan pernah menyerah, apa pun yang terjadi.’ Aku dulu nggak ngerti maksudnya. Tapi sekarang, setiap kali aku merasa lelah atau ingin menyerah, kata-katanya selalu muncul di kepala,” ujar Hadi sambil menatap jauh ke luar jendela.
Salah satu temannya menepuk bahunya, memberi dukungan tanpa kata.
“Aku kadang berpikir, kalau hari ini ayah masih ada, apa dia akan bangga sama aku?” Hadi melanjutkan, kali ini suaranya sedikit bergetar. “Aku cuma mau bilang ke dia, terima kasih untuk semuanya. Untuk kerja kerasnya, untuk kasih sayangnya, dan untuk semua pelajaran yang dia beri tanpa dia sadari.”
Hadi menyesap kopinya perlahan. Hangatnya minuman itu mengalir ke dalam dirinya, seperti mengisi ruang kosong yang selama ini ia simpan rapi.
Pagi itu, di Mako, semua orang terdiam sejenak, membiarkan cerita Hadi memenuhi ruang. Bagi mereka, Hadi bukan hanya berbagi kisah, tapi juga mengingatkan mereka akan pentingnya menghargai waktu bersama orang-orang terkasih.
Di bawah langit pagi yang cerah, Bang Hadi telah berbagi sepotong hatinya. Dan mungkin, di suatu tempat yang jauh di sana, ayahnya tersenyum bangga melihat anaknya yang tumbuh menjadi pria yang kuat, persis seperti yang ia harapkan. (Red)