Karawang, Jawa Barat | Deraphukum.click | Jembatan perahu yang menghubungkan Desa Anggadita dan Desa Parungmulya di atas Sungai Citarum kembali menjadi sorotan publik. Setelah 15 tahun menjadi jalur vital bagi ribuan warga, kini Jembatan Haji Endang disebut-sebut sebagai infrastruktur ilegal oleh pihak tertentu. Ancaman pembongkaran pun mulai mencuat.
Jembatan unik ini dibangun dari 11 perahu ponton besi atas inisiatif pengusaha lokal Muhammad Endang Junaedi, atau yang akrab disapa Haji Endang. Sejak berdiri pada 2010, jembatan ini menjadi solusi atas minimnya akses antarwilayah saat itu. Biaya pembangunannya, yang mencapai Rp5 miliar, berasal dari dana pribadi dan pinjaman bank.
“Jangan lupa, waktu itu pemerintah belum punya solusi. Warga minta tolong, saya bantu,” kata Haji Endang saat ditemui.
Namun kini, keberadaan jembatan tersebut justru dianggap bermasalah secara hukum. Tuduhan tak berizin dan melanggar tata ruang mulai dilontarkan oleh sejumlah pihak yang identitasnya belum diketahui secara jelas.
Respons warga pun tak terbendung. Banyak yang mengecam tudingan tersebut sebagai bentuk kecemburuan terhadap keberhasilan pengelolaan jembatan.
“Jembatan ini menyelamatkan hidup kami setiap hari. Kalau sekarang dibilang ilegal, ke mana saja selama 15 tahun ini?” ujar Sarpin, warga Desa Parungmulya.
Warga lainnya pun turut menyuarakan pendapat. “Bilang saja iri sama rezeki orang. Daripada jembatannya dibongkar, mending dibantu supaya lebih baik,” ujar seorang pengendara motor yang melintasi jembatan setiap hari.
Jembatan ini dilalui lebih dari 10.000 kendaraan per hari dengan tarif Rp2.000, menghasilkan omzet hingga Rp25 juta per hari. Meski menghasilkan keuntungan, warga menilai tarif tersebut sepadan dengan manfaat yang diberikan.
Sementara itu, Haji Endang menyatakan kesiapannya untuk berkoordinasi dengan pemerintah demi mencari solusi terbaik. “Kalau soal perizinan, ayo kita bicarakan. Tapi jangan sampai rakyat yang jadi korban,” tegasnya.
Kini, nasib Jembatan Haji Endang berada di ujung tanduk. Apakah ia akan diakui sebagai solusi rakyat yang berhasil, atau justru dihentikan oleh kebijakan yang tak ramah terhadap inisiatif mandiri? Bagi ribuan warga Karawang, jembatan ini bukan sekadar penghubung antarwilayah—melainkan urat nadi kehidupan.(Lukmanul Hakim)